FPB Sukoharjo yang berisi sejumlah serikat pekerja di Kabupaten Sukoharjo satu suara menolak dengan keras keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja dan Perpu Cipta Kerja. Sebab keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja yang diganti menjadi Perpu Cipta Kerja tetap tidak memihak buruh dan sangat merugikan.
"Sejak awal FPB Sukoharjo sudah menolak Undang-Undang Cipta Kerja dan sekarang diganti menjadi Perpu Cita Kerja tidak ada perubahan sama sekali. Tetap memberatkan dan merugikan buruh. Jelas kami tolak," lanjutnya.
Baca Juga: Cerita misteri lantai 4 rumah sakit, ada seorang lelaki mengetuk-ketuk kaca sambil menangis
FPB Sukoharjo sejak awal ditegaskan Sukarno sudah menyuarakan penolakan keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja karena merugikan buruh. Harapannya Undang-Undang Cipta Kerja bisa dicabut. Namun yang terjadi justru muncul aturan pengganti yang pada intinya masih sama merugikan buruh.
"Sebenarnya dari putusan MK itu harus memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja tapi justru dikeluarkan Perpu Cipta Kerja yang mana masih belum memihak buruh. Banyak aturan merugikan buruh disana," lanjutnya.
Sukarno mencontohkan kerugian buruh seperti terkait uang pensiun dan status pekerja atau buruh kontrak. "Kalau buruh atau pekerja itu statusnya kontrak maka akan seterusnya kontrak. Jelas ini merugikan buruh. Harusnya bisa diangkat menjadi buruh atau pekerja tetap," lanjutnya.
FPB Sukoharjo terkait penolakan Perpu Cipta Kerja berencana akan meminta audiensi dengan DPRD Sukoharjo. Pengurus FPB Sukoharjo masih melakukan persiapan dan koordinasi dengan sekretariatan dewan Sukoharjo.
"Buruh akan kembali menyampaikan aspirasi penolakan Perpu Cipta Kerja. Sama seperti dulu saat menolak Undang-Undang Cipta Kerja," lanjutnya.
Baca Juga: Pengalaman horor bekerja di sebuah pabrik sepatu, rupanya ada sebuah tradisi yang telah dilupakan
Sukarno, mengatakan, ada banyak aturan yang sangat merugikan buruh seperti Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 dimana upah buruh tidak lagi berpedoman pada pencapaian kebutuhan hidup layak (KHL).
Aturan memberatkan tersebut sangat terasa sekali dampaknya bagi buruh. Hal itu seperti terlihat banyak buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), upah kecil hingga buruh tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Besarnya beban hidup serta upah murah dikhawatirkan FPB Sukoharjo bisa menambah angka kemiskinan. Hal ini disebabkan karena buruh sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk keluarga.
FPB Sukoharjo juga mengkhawatirkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Sebab kondisi sekarang juga dialami pelaku usaha dimana mendapat beban tinggi. Salah satunya seperti sebelumnya sempat terjadi kenaikan harga BBM. Selain itu juga naiknya tarif listrik dan masih sepinya pasar serta kesulitan bahan baku produksi.
Sukarno mengatakan, himpitan masalah yang dialami pelaku usaha akan memaksa mengurangi buruh. Akibatnya buruh akan kehilangan pekerjaan dan menganggur. Dampaknya membuat angka kemiskinan meningkat.*