HARIAN MERAPI - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Alfiansyah Bustami yang akrab disapa Komeng, menyebut gelaran Tea Fest 2025 sebagai momentum strategis untuk mendorong industri teh Indonesia lebih kompetitif dan mendunia.
“Teh ini jangan sampai ketinggalan dengan minuman lain. Padahal teh lebih membumi di Indonesia,” ujar Komeng dilansir dari ANTARA di Bandung, Jawa Barat, Minggu (20/7).
Ia juga mencontohkan berbagai produk teh lokal yang selama ini sudah dikenal masyarakat sejak lama, seperti teh talua di Sumatera maupun teh tarik yang telah menjadi bagian dari tradisi minum teh di berbagai daerah.
Baca Juga: Berkat dukungan BRI, UMKM teh asal Bogor naik kelas, tembus pasar global, begini kisah suksesnya
“Apalagi di Jawa Barat ini, awal mula teh ditanam ya di sini. Produksi terbesar teh nasional juga dari Jabar. Jadi sangat layak kalau ada produk-produk teh yang dikembangkan seperti tren kopi di Canggu, Bali,” ujar Komeng.
Dia menyampaikan bahwa kebiasaan minum teh seharusnya bisa diangkat seperti budaya ngopi di warung kopi, dan menyayangkan belum adanya warung teh sebagai tempat khusus untuk menikmati teh.
“Orang kenal warkop, tapi nggak ada war-teh. Padahal dari kecil kita sudah dikenalkan teh,” sambungnya.
Baca Juga: Petani kopi di Temanggung gelar Festival Petik Kopi, ribuan warga ikuti sambil bawa tumpeng
Pakar teh Dadan Rohdiana menilai pemerintah perlu lebih serius memberikan perhatian pada industri teh. Ia menyebut saat ini teh bahkan tidak termasuk dalam 10 komoditas unggulan nasional.
“Akibatnya, pemerintah seperti memandang sebelah mata terhadap teh, berbeda dengan komoditas seperti lada,” kata Dadan.
Padahal, menurutnya, dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, konsumsi teh dalam negeri sebenarnya sudah cukup tinggi. Namun produksi nasional hanya sekitar 90 ribu ton per tahun.
Baca Juga: Wedang Seger, minuman herbal yang bikin nagih dan berkhasiat obat, rasanya hangat mantap!
“Kalau satu orang minum satu gram saja, teh kita masih kurang. Kita malah terpaksa impor teh kualitas bagus dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan,” ujarnya.
Menurut Dadan, permasalahan di industri teh terjadi mulai dari hulu hingga hilir. Di tingkat petani, produktivitas masih rendah, sementara akses pembiayaan dari perbankan juga sulit didapat.
“Ketika kami ajukan KUR (Kredit Usaha Rakyat, Red) dan sebagainya, terasa berat karena teh dianggap tidak menjanjikan secara ekonomi,” ucapnya. *