“Belum, Bang,” kata Rahman. “Susah mencari kursi goyang yang kusam dan berdesain klasik. Kalau berdesain modern, banyak di toko mebel, Bang.”
“Bah! Apa nanti kata kritikus, kalau kita pakai kursi goyang modern?” sahut Hendra. “Jadwal kita pentas makin dekat, kau carilah terus lebih keras!”
Baca Juga: Pengalaman misteri kakek Pringgo ketika jadi korban prank dua demit cilik saat menjelang maghrib
“Ya, Bang. Akan saya usahakan,” jawab Rahman.
Maya yang mendengarkan percakapan itu hanya diam, membayangkan kengerian ketika para kritikus mencibir pentas mereka yang cacat properti karena menggunakan kursi goyang yang tidak tepat!
Hari pementasan pun tiba.
Di panggung yang bercahaya temaram, tampak Maya yang berwajah keriput, bersanggul, dan berkebaya coklat muda, duduk di kursi goyang dari kayu jati berukir.
Di dekatnya ada properti berupa sekat yang didesain menyerupai jendela.
Maya merasakan ada sesuatu yang masuk ke tubuhnya. Tiba-tiba pula suara Maya bergetar mirip sekali dengan suara seorang nenek. (Seprti dikisahkan Sulistiyo Suparno di Koran Merapi) *