harianmerapi.com - Tentang misteri kemartiran Rama Sandjaja. Di kalangan teman-temannya Kardis dikenal sebagai murid yang cerdas, sehingga dijuluki “Kamus Kecil yang berjalan”.
Kecuali itu, dia rajin ke gereja dan berziarah ke Sendangsono. Sikapnya polos, lugu, tidak mudah marah dan tidak banyak bicara. Sehingga teman-teman Kardis juga menjulukinya ‘Werkudara’.
Setelah lulus seminari, Kardis mempunyai tanggungjawab mengurusi Paroki Muntilan dan Mendut sebagai stasi-nya, disamping sebagai dosen di Seminari Tinggi.
Baca Juga: Misteri Kemartiran Rama Sandjaja 1: Setiap Bulan Mei Banyak Umat Katolik yang Berziarah
Dia juga diserahi tugas mengurus Paroki Magelang selama dua tahun. Terakhir dia menjadi Prefek di Seminari Menengah Muntilan.
Muntilan, merupakan tempat Rama Richardus Sandjaja pr., dan Fr. M.A. Bouwens SJ mencurahkan darahnya sampai wafat pada tanggal 20 Desember 1948,
dalam suasana kekacauan dampak “Clash II” (Perang Kemerdekaan II) yang pecah pada tanggal 19 Desember 1948 di Yogyakarta.
Aksi bumi hangus di kota Muntilan, tak terkecuali kompleks Pasturan juga menjadi sasaran.
Namun, dari serangkaian bangunan kompleks Misi yang telah disulut api, tetapi tidak mampu membakar gedung gereja.
Bahkan daun pintu yang menjadi sasaran awal, hangus pun tidak. Bagi umat Katolik, kala itu Muntilan ini merupakan puncak kekacauan.
Baca Juga: Cerita Lucu Suruh Bawa KK ke Sekolah Dikira Kakak dan Pengalaman Membeli Makanan di Bandara
Tanggal 19 Desember 1948 malam, ada sekelompok orang yang mengaku lasykar pejuang kemerdekaan mengajak para pastor untuk berunding.
Tidak semua pastor yang di Muntilan bersedia memenuhi ajakan itu, kecuali Rama Sandjaja, Frater Hermanus Bouwens SJ dan Bruder Kismadi.
Dalam perjalanan ke tempat perundingan Bruder Kismadi disuruh pulang karena tidak memakai jubah.
Pagi harinya, Rama Sandjaja dan Frater H. Bouwens ditemukan tewas di dusun Kembaran desa Sedayu, tidak jauh dari kompleks Pasturan.