harianmerapi.com - Kurang lebih delapan bulan kemudian Kanjeng Sultan memerintahkan Tumenggung Martalaya menggempur Kadipaten Pasuruan.
Separuh dari jumlah pasukan Mataram dibawanya ke Pasuruan. Dalam tempo singkat Kadipaten tersebut jatuh.
Sementara itu Kanjeng Sultan telah mendengar dari prajurit sandinya bahwa, Adipati Pajang akan mbalelo lagi. Dia sudah bersekongkol dengan Pangeran Mandurorejo seorang bupati di wilayah kekuasaan Mataram.
Kecuali itu juga bekerja sama dengan seorang menteri di wilayah Kadipaten Pajang bernama Ngabehi Tambakbaya yang memiliki seekor kuda tunggang gagah perawakannya dan berbulu halus mengkilap.
Kuda itu sangat pantas jika dijadikan kuda kehormatan bagi seorang raja. Soal kuda inilah yang kemudian dijadikan alasan untuk menggempur mereka-mereka yang berencana akan mbalela atau membangkang.
"Kanjeng Adipati, menurut pekabaran di Pajang ada seorang menteri yang memiliki Kuda sangat bagus," tanya seorang utusan dari Mataram.
"Betul utusan. Pemilik kuda itu seorang menteri bernama Ngabehi Tambakbaya, kenapa?"
"Kanjeng Sultan menginginkan kuda itu sebagai kuda kehormatan untuk titian beliau."
Kanjeng Adipati kemudian memanggil Ngabehi Tambakbaya yang segera datang dengan menunggangi kudanya.
"Ngabehi Tambakbaya, kudamu itu akan diminta oleh Kanjeng Sultan Mataram," kata Adipati Pajang.
"Aku sangat keberatan kudaku diminta orang lain. Apalagi kudaku ini masih kuat untuk diajak berperang selama tiga tahun lagi sama seperti kulitku yang tetep wulet dalam jangka tiga tahun mendatang," kata Ngabehi Tambakbaya menyombongkan diri kepada utusan dari Mataram itu.
Tanpa pamit utusan dari Mataram itu pergi meninggalkan Kadipaten Pajang. Dilaporkannya semua kata-kata sombong dari Ngabehi Tambakbaya tadi kepada Kanjeng Sultan.
Sehingga beliau marah lalu memerintahkan untuk menggempur Kadipaten Pajang.