"Pangeran Mandurorejo, jadilah Senopati perang, pimpin pasukan Mataram untuk merebut Kadipaten Pajang!" perintah Sang Prabu.
"Se se sen sendika, Gusti," jawab Pangeran Mandurorejo ragu dan resah. Meski akhirnya dia berangkat juga.
Bagaimana mungkin dia harus menjadi senopati memimpin perang melawan Kadipaten Pajang?
Padahal sebelumnya dirinya pernah berjanji membentuk persengkongkelan rahasia dengan Adipati Pajang dan Ngabehi Tambakbaya akan mbalela kepada Mataram.
"Huuuhh...!" Pangeran Mandurorejo bimbang, jadi atau tidakkah dirinya mbalela? Kalau jadi mbalela kemungkinan besar Adipati Pajang dan Ngabehi Tambakbaya kalah.
Mengingat pasukan prajurit Mataram begini kuatnya. Setelah mereka berdua mendapat hukuman pasti giliran dirinya yang bakal dipenggal lehernya sebagai konskwensi seorang pembangkang.
Akhirnya Pangeran Mandurorejo memutuskan untuk menjadi Senopati perang pasukan Mataram yang sesungguhnya serta mengingkari persekongkelan dengan Adipati Pajang dan Ngabehi Tambakbaya.
Sementara itu, prajurit sandi Kadipaten Pajang telah melaporkan kedatangan Pasukan Prajurit Mataram yang dipimpin Senopati perang Pangeran Mandurorejo.
Baca Juga: Sejarah Mudik yang Mulai Dikenal Sejak Era 1970-an, Tradisi Kumpul Keluarga Hingga Ajang Pamer Harta
Maka bersama Ngabehi Tambakbaya Kanjeng Adipati Pajang mempersiapkan pasukannya disebelah barat kotaraja.
Keduanya nampak gagah perkasa duduk di punggung kuda masing-masing dengan senjata tergenggam di tangan.
"Kita hadang pasukan Mataram di sini. Kita gempur dari depan dan nanti yang di belakang pasukan Mataram itu pasti akan digebuk oleh Mandurorejo sendiri."
"Sisa pasukannya kita pancing agar bergerak maju dan memasuki kota raja di sini mereka kita lumat habis. Bukankah begitu, Ngabehi Tambakbaya?" berkata Adipati Pajang.
"Ya. Begitulah kira-kira strategi kita menghancurkan mereka," jawab Ngabehi Tambak baya dengan tenangnya karena dia sangat percaya pada perjanjian persekongkelan untuk menggulingkan Mataram beberapa waktu yang lalu. (Ditulis: Akhiyadi) *