“Suit…, suit!” ia memberi aba-aba tanda mundur.
Mendengar tanda itu, menghamburlah para prajurit Kahuripan…, pulang kembali.
Kaki-kaki kuda yang saling tunggang langgang membuat rakyat yang tak tahu apa-apa saling bertanya dalam hati. Ada apakah gerangan hingga banyak prajurit yang melarikan kudanya seakan dikejar oleh hantu?
“Ada apakah dengan Calon Arang? Matikah ia?” penduduk saling bertanya apa yang telah terjadi dengan kuda-kudanya yang berlari kencang keluar dari Desa Girah, tempat Calon Arang yang sakti bermukim.
Wangsa Jaya pun ikut melarikan diri. Ia mengakui kesaktian Calon Arang yang mempunyai Aji Panca Sona. Ajian yang jarang sekali dimiliki orang.
Konon kabarnya hanya Dasa Muka atau Rahwana dan Raden Setya Boma Narakasura saja yang memilikinya.
Ia mewarisi ilmu itu dari Resi Subali yang berasal dari Negara Kendali Sada. Ia mendengarkan wejangan dari Resi Subali, hingga ia mampu memiliki Aji Panca Sona.
Narottama tak habis pikir, mengapa ilmu hitam yang dahsyat berada di tangan seorang janda tua yang jelek.
Kuda yang berjumlah empat puluh satu ekor masuk ke Alun-alun Kahuripan.
Mereka langsung menghadap Prabu Erlangga dan mengabarkan gagalnya tugas yang telah mereka pikul.
“Hem…, tak kuduga Kakang Patih. Janda itu begitu kuat dan ampuh. Mungkin aku sendiri tidak mampu mengalahkan Calon Arang. Karena ilmu kita tidak terpaut begitu banyak Kakang Patih?”
“Begitulah, memang janda itu sakti, punya ilmu Panca Sona,” jawab Ki Patih Narottama, sambil memberi hormat junjungannya. (Ditulis: Tri Wahyono/Koran Merapi) *