harianmerapi.com - Dampak Perjanjian Giyanti. Raden Mas Said adalah putera dari Raden Mas Riya. Raden Mas Said bergelar Adipati Arya Mangkunegara.
Pada usia 14 tahun ia sudah diangkat sebagai gandek kraton dan diberi gelar R.M.Ng. Suryokusumo.
Pada suatu ketika Raden Mas Said mengajukan permohonan untuk mendapatkan kenaikan pangkat.
Baca Juga: Dampak Perjanjian Giyanti 1: Usaha VOC untuk Memecah Belah Kerajaan Mataram yang Kuat
Namun permohonan tersebut tidak disetujui, ia bahkan dituduh terlibat dalam pemberontakan yang dilakukan orang-orang Cina.
“Rasanya tidak pantas pemberontak sepertimu untuk naik pangkat.”
“Ucapan Tuan tidak beralasan.”
Belanda pun geram dengan tingkah laku Raden Mas Said. Mereka lalu mencaci-maki Raden Mas Said.
Sejak peristiwa itu, muncullah niatan untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Hal tersebut dikarenakan VOC terlalu ikut campur dalam urusan Kerajaan Mataram.
Ia pun kecewa Kerajaan Mataram kini dikendalikan oleh VOC. Pemberontakan Raden Mas Said diikuti oleh R. Sutawijaya dan Suradiwangsa (yang kemudian dikenal dengan Kiai Kudanawarsa).
Mereka pun mulai menyusun strategi dan pergi keluar kota untuk menghimpun kekuatan.
Raden Mas Said pergi menuju Nglaroh untuk memulai perlawanan. Oleh para pengikutnya Raden Mas Said diangkat sebagai raja baru
dengan gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Senopati Sudibyaning Prang. Meskipun begitu, sebutan Raden Mas Said yang sangat dikenal masyarakat yakni Pangeran Sambernyawa.
Perlawanan Raden Mas Said mendapat dukungan dari masyarakat. Bebagai dukungan pun datang kepadanya.
Pemberontakan tersebut merupakan ancaman serius bagi eksistensi Pakubuwana II sebagai raja di Mataram. Oleh karena itu, pada tahun 1745 Pakubuwana II membuat sayembara.