Lagian cetakannya seberapa gedenya sampai untuk bisa membuat orang sedang mencetak peluru? "Hahahaaaaa...”, mereka nyekakak menertawai Panembahan Purbaya.
“Wouw? Salah ya ngomong saya, rayimas? Maksudku begini, bukan orangnya yang dibuat cetakan. Untuk apa membuat cetakan orang?”
“Hahahaaa, terus bagaimana maksudmu?”
“Di daerahku sana orang membuat peluru tidak perlu dicetak?”
“Di sinipun jika sudah jadi peluru tidak perlu dicetak? Yang dicetak itu bahan pelurunya?” jawab orang Palembang itu ngeyel.
“Betul katamu itu, rayimas. Tetapi sebenarnya memang berbeda. Di tempatku sana cara membuat peluru itu dari timah cair yang masih panas diciduk dengan tangan terus dikepal-kepal seperti membuat mainan kelereng dari tanah liat. Ini lebih cepat meski hasilnya sedikit kurang halus?”
“Hahahaaa, anda ini siapa? Berasal dari mana? Kok bisa-bisanya anda bercerita yang aneh-aneh. Atau anda sengaja mau membohongiku?”
Pangeran Purbaya memandangi orang itu sejenak, “Aku berasal dari pesisir wilayah Mataram yang berbatasan dengan wilayah kerajaan Palembang."
"Namaku Kyai Dhugdheng dan kegemaranku memang berkelana ke tempat-tempat yang jauh begini”.
“Hai, Kyai Dhugdheng orang Mataram. Kamu bisa membuktikan omonganmu tentang pembuatan peluru tadi? Coba buktikan ini timah cair bahan pembuatan peluru itu!”, kata orang palembang itu.
Panembahan Purbaya segera meraup timah panas itu dengan tangannya lalu mengepal-ngepalnya menjadi butiran kecil-kecil,
“Begini caranya membuat peluru. Kamu mau mencoba?”, kata Panembahan Purbaya.
Orang-orang Palembang terheran-heran, “Bagaimana mungkin Kyai Dhugdheng dari Mataram ini tidak melepuh tangannya mengepal-ngepal cairan timah panas itu?”