“Mohon ampun, Ki Ageng. Aku menyerah, jangan bunuh aku. Maafkan aku!”, kata Mas Penewu Pringga Lelana merengek-rengek minta ampun.
Ki Ageng Tunggul Wulung merasa iba pada musuhnya, beliau mengampuninya. Meski terpaksa harus mengikat kedua tangannya agar tidak melarikan diri.
Lain halnya dengan Ngabei Dipowinadi yang masih terus melakukan perlawanan meski sudah berpuluh kali tubuh dan bahkan wajahnya kena lecutan cemeti di tanga Tumenggung Suryapati.
Ternyata pecut sapi itu menjadi senjata yang sangat ampuh, bisa melukai kulit sebagaimana layaknya sebuah senjata tajam.
Tidak cuma itu, ujungnya yang lentur itu dapat membelit senjata lawan dan ketika ditarik sendal pancing senjata lawan tersebut terlepas dari genggamannya.
Sesudah senjatanya terlepas dan dia sudah puluhan kali terkena cambukan maka dengan luka arang kranjang di sekujur tubuhnya Ngabei Dipowidadi jatuh tertelungkup di tanah tak berdaya. (Ditulis: Akhiyadi)*