harianmerapi.com - Dalam legenda Sunan Tembayat juga dikisahkan bagaimana terjadinya Sendang Kucur sebelum sampai ke Jabalkat.
Sesampainya di rumah Nyai Tesik mengabari peristiwa yang terjadi di pasar. Mereka berdua akhirnya memohon maaf kepada Sang Pangeran Pangkubumi.
Suami istri ini yang sebelumnya tidak pernah sembahyang ini kemudian dikabarkan menjadi abdi soleh Sang Pangeran.
Panageran Mangkubumi meneruskan perjalanan. Kali ini sudah lengkap bersama dengan rombongan. Nyai Ageng Kaliwungu, Pangeran Jiwo, Syaikh Domba dan Syaikh Kewel.
Perjalanan mengambil arah selatan dari Pasar Wedi. Sewaktu masuk waktu salat, Sang Pangeran mencari masjid, mushola atau langgar.
Dan ditemukanlah sebuah mushola. Saat Sang Pangeran hendak berwudhu. Padasan di mushola itu kering tak berisi air. Sang Pangeran melihat sekeliling.
Biasanya di dekat sumur atau sumber air terdapat ember kayu untuk menimba banyu. Namun ember itu tidak ada. Hanya ada keranjang bambu yang anyamannya tidak rapat dan berjauhan.
Maka Sang Pangeran menimba air dengan keranjang bambu itu. Penduduk sekitar yang menyaksikan peristiwa itu terheran-heran. Air dalam keranjang tidak ada yang tumpah keluar.
Hari itu penduduk sekitar menyaksikan seseorang mengisi padasan dengan cara yang luar biasa.
Setelah selesai sembahyang, Pangeran Mangkubumi bertanya arah mana yang harus diambil untuk sampai ke Jabalkat.
Syaikh Domba pun menjawab. “Kita perlu berjalan ke arah tenggara, Gusti. Setelah menemui hutan lebat maka Gusti akan sampai di Jabalkat.”
Syaikh Domba mengetahui sedikit cerita tentang Jabalkat. Berdasarkan kisah para kawan-kawan sesama penjahat, Jabalkat adalah sebuah wilayah yang harus dijauhi.
Tempat itu malati. Jalma mara jalma mati. Setan mara setan mati. Sato mara sato mati. Begitu kabar yang tersebar di kalangan para penjahat.