harianmerapi.com - Tarziono, anak baru gede kelahiran tahun 2005 itu memang dikenal sebagai anak indigo. Mempunyai kelebihan bisa melihat sesuatu yang bagi orang lain tidak terlihat.
Namun pengalamannya yang terakhir ini sugguh aneh. Suatu malam Tarziono bermimpi menyaksikan peristiwa yang terjadi di masa lampau. Sekitar duaratus tahun yang lalu.
Dalam mimpinya, suatu siang Tarziono berjalan-jalan sendirian di Alun-Alun Utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Baca Juga: Kekayaan Bukan Segalanya 1: Marni Gadis Kecil yang Enerjik dan Punya Sikap Mandiri
Tidak sengaja dia melihat ada kerumunan orang di sekitar ringin kurung di tengah Alun-alun. Dari omongan beberapa orang, Tarziono menjadi tahu, jika di tempat tersebut akan ada eksekusi mati hukm pancung bagi seorang penjahat.
Kerumunan orang itu mengatakan, jika penjahat tersebut mendapat hukuman mati karena melakukan tindak kejahatan berat.
Adapun hukuman yang akan dilaksanakan adalah berupa hukum pancung. Dipenggal kepalanya di depan orang banyak.
Tanpa berfikir panjang Tarziono menerobos kerumunan itu. Ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman tersebut.
Ketika Abdi Dalem Mertolulut yang tugasnya menjadi eksekutor mengayunkan pedangnya ke arah leher penjahat, tak urung Tarziono berteriak ketakutan.
Anak baru gede tersebut terbangun dari mimpinya. Orangtuanya kaget dan bergegas mendatanginya. Setelah sadar betul, Tarziono dengan ‘jlentreh’ menceriterakan kejadian yang baru saja dilihatnya, dalam mimpinya.
Mendengar ceritera Tarziono, orangtuanya tertegun. Seperti tidak percaya akan mimpi anaknya. Pak Bagiarto, ayah Tarziono, jadi teringat akan sebuah buku kuna yang pernah dibacanya.
Dibeberkan dalam buku tersebut, dahulu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memberlakukan hukum pancung dan potong tangan di depan orang banyak.
Baca Juga: Menanam Harapan Terbaik bagi Orang Beriman di Tengah Badai Kehidupan
Siapa saja yang melakukan tindak kejahatan berat akan dihukum pancung, dipenggal kepalanya. Sedangkan yang melakukan kejahatan ringan akan menerima hukuman dipotong tangannya.
Kala itu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memang memberlakukankan hukum menurut Syariat Islam.
Masih menurut buku tersebut, pada tahun 1926 tatkala Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berada di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII, hukum tersebut dihapuskan. - Semua nama samaran - (Seperti dikisahkan FX Subroto di Koran Merapi) *