SEJARAH kopi di Indonesia tidak lepas dari penderitaan rakyat Indonesia khususnya petani di Jawa.
Ambisi Belanda untuk melakukan penanaman kopi besar-besaran agar dapat diekspor mewajibkan petani menanam kopi dengan sistem tanam paksa.
Pada akhir abad ke-19, kritik terhadap sistem paksa tanam kopi mulai bermunculan seiring dengan produksi kopi yang mulai goyah karena terserang penyakit karat daun atau Hemileia vestatrix.
Novel Max Havelaar yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli adalah yang paling jelas memperlihatkan gambaran mengerikan sistem tanam paksa di Jawa.
Baca Juga: Minions dan Pasangan Greysia-Apriyani Lolos ke Final Indonesia Open
Nama Multatuli sendiri diambil oleh Eduard dari bahasa latin yang berarti 'Aku sudah banyak menderita'.
Pada tahun 1838, Multatuli pergi ke Hindia Belanda sebagai pegawai sipil yang akhirnya karena berprestasi maka diangkat sebagai asisten residen di Lebak, Banten.
Selama bekerja, Multatuli melihat bagaimana pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan tidak adil dan semena-mena terhadap rakyat Jawa melalui sistem tanam paksa.
Usaha Multatuli untuk melindungi rakyat Jawa dari Kolonial Belanda yang merupakan bangsanya sendiri tidak mendapat dukungan dari siapapun sehingga akhirnya Multatuli mengundurkan diri dari jabatan elit tersebut dan pulang ke Eropa.
Baca Juga: Sebelum Diangkat Jadi Film, Layangan Putus Sempat Viral di Facebook
Sekembalinya Multatuli ke Eropa, kemudian dia menuliskan secara detail bagaimana pemerintah Kolonial Belanda menindas dan menyengsarakan rakyat Jawa melalui sistem tanam paksa.
Catatan tersebut kemudian menjadi novel berjudul Max Havelaar, Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia Belanda yang terbit tahun 1860 dan menggemparkan dunia.
Multatuli menggambarkan sistem tanam paksa yang menyengsarakan rakyat Jawa lewat tokoh Saijah yang kehilangan kerbau-kerbaunya, kehilangan kekasihnya bernama Adinda, dan kehilangan seluruh hidupnya. Sementara sang makelar kopi bernama Drogstoppel hidup penuh dengan kemewahan di Belanda.