Dalam mimpinya Ki Reksajiwa didatangi tokoh agama Hindu Tengger bernama (almarhum) Eyang Sarjo Suryakusumo dan memerintahkan untuk membuat sebuah tugu sebagai peringatan murkanya Gunung Merapi.
“MAKNA tugu sebagai gambaran Manunggaling Kawula Gusti seperti yang tertulis dengan aksara Jawa di tugu ini,” jelas Ki Reksajiwa. Di tugu ini digambar tokoh-tokoh punakawan, Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.
“Gambar punakawan ini melambangkan toleransi dan saling menghormati antar warga dusun yang berbeda keyakinan dan agama,” tegasnya.
Tetenger waktu yang dipahatkan di tugu ini, tanggal 4 bulan Asuji tahun 1933 Lodra. Tanggal ini dari perhitungan waktu Tahun Jawa Nusantara yang dianut warga Pahoman Sejati. Tanggal tersebut sama dengan tanggal 19 Ruwah 1944 Be taun Jawa, atau 21 Juli 2011.
Baca Juga: Kejujuran Membawa Nikmat 1: Rumah Tangga Baru yang Sepi
Sementara itu dalam acara ritual tradisional Suran Seniman di Padepokan Seni ‘Tjipta Boedaja’ dusun Tutup Ngisor desa Sumber Kecamatan Dukun, beberapa tahun yang lalu ditandai dengan memboyong Arca Semar dari padepokan ‘Gadung Mlati’ desa Sengi Kecamatan Dukun.
Arca tokoh punakawan itu dipajang di Padepokan Seni ‘Tjipta Boedaja’, selaras dengan tema Suran Seniman, “Semar Boyong”.
Maknanya, Arca Semar ini sebagai lambang sosok almarhum Rama Yoso Soedarmo, sesepuh seniman pendiri padepokan seni ini. Dia dimaknai sebagai ‘pamomong’ (pengasuh) para seniman, yang sekaligus juga sesepuh dusun yang dihormati dan disegani warganya.
Baca Juga: Kunci Kebahagiaan adalah Qalbun Syakirun
Perwujudan Ki Semar untuk menggambarkan sosok ayahnya dengan makna ‘pamomong’ ini diakui Bambang Tri Santosa, salah seorang putra Rama Yoso Soedarmo. Arca tersebut dipajang di lorong antara pendapa padepokan dengan rumah.
Wujud Arca Semar ini hanya setengah badan, dengan ukuran tinggi 60 cm, lebar 50 cm dan panjang 60 cm, dibuat dari batu andesit Merapi. Sebelum diboyong dari padepokan seni ‘Gadung Mlathi’, Sengi, ke padepokan seni ‘Tjipta Boedaja’, Ki Ismanto melakukan ritual dengan menyiram air dari tempuran sungai Tringsing dan sungai Bandung di dekat desanya.
Arca ini juga disiram air kembang setaman, dan ditutup kain mori putih. Adanya arca Semar di padepokan ini menambah suasana padepokan menjadi lebih bernuansa Jawa dan berwibawa.
Baca Juga: Duel Tuyul Lawan Tuyul 1: Penghasilan Berkurang Jauh Sejak Masa Pandemi
Menurut Ki Ismanto, Ki Semar sebagai tokoh punakawan, disamping menjadi gambaran ‘wong cilik,’ juga menjadi perlambang ‘Sang Pamomong’, yang ngemong atau mengasuh jagad, yaitu alam dan isinya. Sedangkan keadaaan jaman sekarang alam dan isinya sudah rusak.
Telah banyak ‘peringatan’ dari kekuatan alam ini dengan adanya beraneka macam bencana alam yang melanda silih berganti, seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor dan sebagainya. Dan kini yang rusak tidak hanya alam, tetapi juga manusianya.
Tanda-tanda kerusakan itu, keadaan negara yang terus-menerus ‘usreg’ tanpa henti. Dan di tengah masyarakat banyak orang yang bertengkar, selisih paham, perpecahan dan mencari menangnya sendiri.