QALBUN syakirun dapat diartikan sebagai hati yang senantiasa bersyukur. Dalam arti luas, diartikan selalu menerima dengan rasa bersyukur apapun yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan kepada kita dengan penuh keikhlasan. Hati manusia dinamakan qalbun
karena cepat dan dahsyatnya mengalami pergolakan atau berbolak-balik dan senantiasa terombang-ambing dalam setiap kondisi dan keadaan.
Sabda Rasulullah Muhammad Shalallahu’alaihi Wa Sallam: "Sesungguhnya dinamakan qalbun karena gampang berbolak-balik. Sesungguhnya perumpamaan hati adalah seperti bulu yang tergantung di atas pohon yang dapat dibolak-balikkan hembusan angin, ke kiri dan ke kanan". (HR. Ahmad).
Sedangkan kata syukur berarti membuka, yang merupakan lawan dari kata kafara/kufur yang diartikan dengan menutup atau melupakan nikmat serta menutup-nutupi kenikmatan itu.
Contoh dari sikap membuka atau menampakkan nikmat-Nya antara lain dalam bentuk memberi sebagian dari nikmat itu kepada orang lain, teristimewa di saat Pandemi Covid-19 masih sangat mengkhawatirkan, sedangkan menutupinya adalah dengan bersifat kikir atau
pelit kepada orang lain.
Baca Juga: Bertaubat dengan Sepenuh Hati, Ini Lima Syaratnya
Banyak orang yang lupa jika sebenarnya hati adalah pengendali dirinya. Karena sebenarnya lantaran hati lah seseorang merasakan hidupnya bahagia, terharu, sedih, cemburu, gelisah, dan berbagai perasaan lain.
Al-Quran banyak menegaskan pentingnya bersyukur pada segala nikmat yang telah Allah SWT berikan kepadanya, sebagaimana Firman-Nya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. (QS Al-Baqarah, 2:152).
Pada ayat ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kehidupan orang yang beriman, yaitu untuk senantiasa mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan tidak mengingkari berbagai nikmat-Nya. Qalbun syakirun muncul karena kesadaran kita akan banyaknya karunia Allah yang telah diberikan, dan tidak mungkin dapat menghitungnya. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nahl, 16:18).
Baca Juga: Membangun Sifat Syaja’ah dalam Kehidupan Sehari-hari
Sebagai orang yang beriman, kita kadang-kadang juga lupa tentang bagaimana caranya bersyukur kepada-Nya. Padahal Allah SWT telah menyatakan bahwasanya tidak ada nikmat yang bisa kita dustakan dengan firman-Nya : “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman, 55:13).
Dalam ayat lain Allah SWT mengingatkan kita semua dengan tegas untuk bersyukur dan tidak mengingkari nikmatnya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim, 14:7).
Dari ayat ini kita bisa melihat betapa indahnya Islam dan Allah Yang Maha Pengasih, di saat kita sudah merasa bersyukur maka Allah menambahkan nikmat untuk kita. Namun dalam ayat yang sama juga terdapat peringatan yang tegas, yaitu ketika seseorang mengingkari nikmat Allah, maka yang diterimanya adalah Azab yang pedih.
Baca Juga: Birrul Walidain, Pentingnya Memuliakan dan Berbuat Baik pada Kedua Orang Tua
Sungguh beruntunglah setiap orang yang mempunyai hati yang selalu bersyukur. Musibah sebesar apapun jika ikhlas menerimanya, insya Allah akan menjadi penghapus dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Kesedihan dan kesenangan adalah ujian, apapun yang
kita alami di dunia ini adalah ujian.
Tinggal siapa dari kita yang ikhlas menghadapi semua ujian ini, dengan tetap beramal shaleh, berbuat kebaikan terhadap sesama dan selalu mengedepankan qalbun syakirun (hati yang selalu bersyukur).