“Kita akan mampir dulu di Padepokan Ki Gede Kusumayuda,” kata Ki Ageng Tunggul Wulung.
“Oh?. Siapa itu, Ki Ageng?” tanya Nyi Ageng Gadung Mlati.
“Kenalanku. Beliau bertemu denganku dalam pengembaraan di masa muda dulu. Aku sudah lama sekali tidak bertemu”.
Nyi Gadung Mlati mengangguk-anggukan kepalanya meski sebenarnya ia tidak bisa membayangkan seperti apa Padepokan Kusumayuda itu.
Sebab selama ini memang belum pernah sekalipun ia bertemu dengan Ki Gede Kusumayuda tersebut.
Perjalanan rombongan itu diiringi nyanyian alam yang merdu diantara desauan dedaun rimba yang bergoyang-goyang.
Sisa angin pagi masih juga terasa sejuk semilir menyentuh kulit, matahari belum begitu tinggi, dan sepanjang jalan entah berapa ratus kali sudah daunan kering jatuh berserakan di jalanan berumput kering dan berdebu.
Wouw, ternyata Padepokan Kusumayuda itu indah sekali. Nyi Ageng Gadung Mlati nyaris menjerit kegirangan.
Ia tersenyum menyaksikan padepokan yang penuh dengan taman bunga ada menur, melati, mawar, ceplok liring, dan juga ada bunga kenanga yang harum mewangi.
“Mbok Emban, indah sekali bunga-bunga itu. Aku nenyukainya”, kata Nyi Ageng Gadung Mlati.
“Ya. Tentu saja, Raden Ayu. Mbok Emban yang sudah tua saja juga suka kok?”. (Ditulis: Akhiyadi) *