HARIAN MERAPI - Nyi Ageng Serang pernah menasehati, agar P. Diponegoro mencari tempat yang ‘tanahnya harum’ untuk kubu pertahanannya.
Tempat itu kini bernama desa Ngargogondo, sisi utara kaki Pegunungan Menoreh sebelah selatan Kali Sileng. Di desa ini kubu pertahannya berada di dusun Gedongan.
Kali Sileng pada masa Perang Diponegoro merupakan garis demarkasi, daerah kekuasaan perajurit P. Diponegoro di sebelah selatan dan daerah penjajah Belanda di sebelah utara sungai.
Sedangkan di dusun yang kini namanya Brojonalan merupakan tempat pertahanan perajurit P. Diponegoro yang dipimpin P. Brojonolo, seorang senopati perang dari Keraton Yogyakarta dalam melawan serdadu penjajah Belanda.
Pemimpin perang lainnya adalah R. Basah Sentot Prawirodirdjo dan Kyai Maja yang membuat kubu pertahanan di desa Majaksingi.
Desa Wanurejo sebagai desa yang pernah menjadi kancah Perang Diponegoro, banyak nama-nama dusun yang berkaitan dengan peperangan itu.
Dusun yang kini bernama ‘Tingal’ pada masa perang dulu sering terjadi pertempuran sengit antara perajurit P. Dipenegoro dengan serdadu penjajah.
Disamping itu di desa ini adalah daerah yang rawan konflik dengan musuh. Musuh perajurit P. Diponegoro bukan hanya serdadu Belanda yang berkulit putih, tetapi juga begundal-begundalnya yang sama-sama berkulit sawo matang.
Untuk dapat mengetahui, siapa lawan dan siapa kawan, perajurit P. Diponegoro mempunyai kata-kata sandi sebagai isyarat pengenal sesama perajurit.
Kata-kata sandi itu, bila ditanya ‘mataku’, maka harus dijawab ‘matamu’. Kata-kata itu kemudian menjadi nama dusun itu yaitu dusun ‘Matamu’.
Karena kata-kata itu dirasa kasar, kemudian diganti ‘Ketingal’, yang akhirnya menjadi ‘Tingal’. Ada lagi nama dusun Jowahan, dimana dulu di tempat ini banyak serdadu Belanda yang mati ‘dijowah-jowah’ atau dicacah-cacah.
Dan juga ada dusun Bekangan, dimana dulu merupakan tempat untuk ‘mbekang’ atau membantai serdadu musuh.