HARIAN MERAPI - Kekeramatan makam petilasan Kyai Candrabumi yang berada di Magelang memang terbukti dan diyakini masyarakat.
Menurut penuturan juru kunci makam, Pak Sadjijo, pada masa Perang Kemerdekaan (Clash) ke II tahun 1948 - 1949, manakala ada patroli serdadu Belanda yang menuju ke desa ini, banyak warga masyarakat dan tentara pejuang yang masuk dan bersembunyi di kompleks makam ini.
Anehnya, ketika pasukan serdadu Belanda melewati jalan desa Podosoko mencari warga desa, serdadu-serdadu tersebut tidak melihat dan tidak mengetahui keberadaan warga dusun ini.
Bahkan ketika tempat itu dibom dengan tembakan kanon dan mortir, peluru yang jatuh di sini tidak meledak. Dan selamatlah warga dusun dan para tentara pejuang.
Pada acara ritual tradisional Nyadran di makam petilasan Kyai Candrabumi, para peziarah datang dengan membawa nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya.
Ada wewaler atau pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh para peziarah di sini. Disamping harus suci lahir dan batin, sedekah nasi tumpeng tersebut ketika memasaknya tidak boleh dicobarasakan (dicicipi, Jw).
Dan bahan pangan yang akan dimasak untuk sedekah ini harus bersih luar dalam. Artinya, barang yang halal, bukan hasil mencuri.
Baca Juga: Kisah hidup Kyai Candrabumi menjadi mitos dengan daya magis religius
Bahkan semua bahan pangan yang akan diolah harus dicuci terlebih dulu sampai bersih, termasuk garam dan bumbu-bumbunya.
Sampai kini wewaler tersebut masih dipatuhi oleh warga masyarakat di sini. Karena bila ada orang yang berani melanggar wewaler atau pantangan tersebut bisa kuwalat dan terkena bebendhu (hukuman).
Semua sedekah makanan tersebut, setelah selesai acara Nyadran dibawa pulang sebagai berkat dan disantap bersama keluarga di rumahnya masing masing.
Para peziarah berkeyakinan, Kyai Candrabumi adalah sebagai perantara agar doa permohonan mereka terkabul.
Para peziarah tidak memohon kepada Kyai Candrabumi, namun hanya mohon berkah supaya doa permohonannya kepada Allah SWT bisa dikabulkan.