Selain itu, RA Kustiah lahir di tengah berkobarnya perang gerilya dua pangeran junjungan ayahandanya, sehingga jiwa dan batinnya terdidik keras, tegas, dan tegar.
Kemudian setelah menginjak dewasa, RA Kustiah dikirim ke Keraton Yogyakarta untuk belajar ilmu.
Selama berada di Kasultanan Yogyakarta, RA Kustiah mempelajari buku-buku sejarah susunan para leluhur Keraton Mataram Hadiningrat.
Baca Juga: Ini instruksi Kapolri kepada jajarannya agar bersikap netral dalam Pemilu 2024
Dari ketekunannya mempelajari berbagai sejarah dan buku-buku Islam yang ada, RA Kustiah semakin membenci setiap bentuk penjajahan.
Namun, dikirimnya RA Kustiah ke Kasultanan Yogyakarta itu bukan semata untuk mempelajari sejarah.
Tetapi karena akan dijodohkan dengan RM Sundoro, putra Sri Sultan HB I. Namun, takdir berkata lain.
Meskipun RA Kustiah dan RM Sundoro saling mencintai, keduanya terpisahkan oleh panggilan hati masing-masing.
Situasi di masa pemerintahan Sri Sultan HB I (1755-1792 Masehi), membuat RA Kustiah harus rela meninggalkan RM Sundoro.
RA Kustiah harus segera pulang ke Purwodadi, karena Belanda mulai mengusik kembali ketenangan Kadipaten Serang Purwodadi.
Sebelum berpisah, RA Kustiah dan RM Sundoro saling memberikan cenderamata.
RM Sundoro memberi sebilah cundrik kepada RA Kustiah, dan RA Kustiah memberikan benda pusaka berupa selendang hijau bernama Angkin Ijo kepada RM Sundoro.
Baca Juga: Sempat Terhenti Gara-gara Limbah, PDAM Toya Wening Surakarta Kembali Operasikan IPA
Selendang itu dipercaya memiliki kekuatan gaib yang mampu melindungi pemakainya dari senjata tajam dan terjangan peluru.