HARIAN MERAPI - Iman kepada Allah SWT adalah rukun iman yang pertama. Rukun pertama ini sangat penting dan memiliki kedudukan tertinggi dalam Islam.
Di mana dalam rukun tersebut, dijelaskan bahwa Iman kepada Allah SWT adalah mempercayainya, meyakininya dengan sepenuh hati.
Wujud (adanya) Allah adalah sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak lagi perlu pembuktian.
Baca Juga: Lima cara melindungi diri dari godaan syaitan, di antaranya membaca Ayat Kursi
Namun demikian untuk membuktikan wujud-Nya dapat dikemukakan beberapa dalil.
Dalil untuk membuktikan wujud-Nya antara lain: Pertama, dalil fitrah. Allah menciptakan manusia dengan fitrah ketuhanan.
Apabila menusia menghadapi sesuatu kejadian yang luar biasa, dan dia sudah
kehilangan segala daya untuk menghadapinya, bahkan sudah putus asa, barulah secara spontan fitrahnya tersebut kembali muncul, mencari (bantuan) Tuhan.
Kedua, Dalil Naqli. Sekalipun secara fitrah manusia bisa mengakui adanya Tuhan dan dengan akal pikiran bisa membuktikannya, namun manusia tetap memerlukan dalil naqli (Al-Qur’an dan Sunnah) untuk membimbing mengenal Tuhan yang sebenarnya.
(Allah) dengan segala nama dan sifat Nya. Sebab fitrah dan akal tidak bisa menjelaskan Tuhan yang sebenarnya itu.
Baca Juga: Delapan langkah syaitan menyesatkan manusia, salah satunya dengan waswasah (bisikan)
Ketiga, dalil akal. Dalil akal adalah dalil dengan menggunakan akal pikiran untuk merenungkan dirinya sendiri, alam semesta dan lain-lain seseorang bisa membuktikan tentang adanya Allah.
Upaya membuktikan adanya Allah lewat perenungan terhadapa alam dengan segala isinya dapat menggunakan beberapa teori hukum (qanun), antara lain:
Pertama, qonun al-Illah. Illah artinya sebab; segala sesuatu ada sebabnya. Sesuatu yang ada tentu ada sebabnya. Siapakan yang mengadakan alam ini?
Kedua, Qunun al-Huduts. Huduts artinya baru. Alam semesta seluruhnya adalah sesuatu yang huduts (baru, ada awalnya) bukan sesuatu yang qadim (tidak berawal).
Kalau huduts, tentu ada yang mengadakannya. Dan yang mengadakan itu haruslkah yang bersifat qadim.'