opini

Gelar dan Kehormatan

Minggu, 1 Mei 2022 | 08:30 WIB
Prof Dr Sudjito SH MSi (Dok Pribadi)

 


Oleh: Prof.Dr.Sudjito, SH, MSi

Sekalipun tidak biasa, tetapi sah, dan layak diapresiasi, seorang Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi berkirim surat ke Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi c.q. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Surat dimaksud dikirim tanggal 8 April 2022, Nomor: 1613/AP.02/04/2022, perihal: Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIX/2021. Beberapa hal perlu diberi catatan, antara lain:


Pertama, Putusan MK itu bersifat final dan mengikat (final and binding). Artinya, tidak ada celah barang sedikitpun untuk menolak, mengingkari, mereduksi, ataupun menyalah-artikan putusan tersebut, demi dan dengan alasan apapun, oleh siapapun. Dalam kerangka negara hukum, maka menjadi kewajiban semua warga negara dan penyelenggara negara, untuk taat dan patuh pada hukum, sehingga putusan MK wajib dilaksanakan secara konsisten atas dasar kesadaran.


Akan tetapi, realitasnya, membuat putusan MK dan menaatinya, tidaklah semudah membalik tangan. Das Sein dan Das Sollen bisa terpisah oleh gap, karena bunyi teks putusan multi tafsir, sehingga rentan ditafsirkan sepihak, sekaligus diimplementasikan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hemat saya, hal seperti itu, dijumpai pada Putusan MK Nomor 20/PUU-XIX/2021, sebagaimana dikutip dalam Surat Sekjen MK.

Baca Juga: 3 Hal Bisa Dicapai dengan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah


Ambil contoh: teks Putusan MK yang berbunyi: “Perguruan tinggi yang dapat mengusulkan dan mengangkat seseorang sebagai profesor kehormatan memenuhi syarat yang bersifat kumulatif, yaitu (i) perguruan tinggi tersebut memiliki peringkat akreditasi A atau unggul; dan (ii) perguruan tinggi tersebut menyelenggarakan program studi program doktor atau doktor terapan yang sesuai dengan bidang kepakaran calon profesor kehormatan dengan peringkat akreditasi A atau unggul.”


Bila dalam kenyataan (praktik) telah ada Perguruan Tinggi mengangkat seseorang sebagai profesor kehormatan, ternyata Perguran Tinggi tersebut tidak/belum memenuhi persyaratan kumulatif, lantas apa konsekuensi hukumnya? Siapakah yang berwenang menertibkan praktik yang tergolong “illegal” itu? Putusan MK tidak mengatur hal-hal demikian. Itulah maka diprediksi praktik “illegal” serupa akan terus marak.


Contoh lain, teks yang berbunyi: “Jika jabatan akademik Profesor Kehormatan akan dicantumkan atau digunakan, maka kata “Kehormatan” atau “Honoris Causa (H.C.)” perlu ditambahkan sebagaimana layaknya pemakaian gelar doktor kehormatan atau Doktor Honoris Causa yang ditulis sebagai Dr. (H.C.).

Baca Juga: Mahasiswa Kembali Kuliah Offline di Bulan Ramadhan, Ini Pesan Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama

Dengan demikian, terdapat kesamaan pencantuman gelar doktor kehormatan dengan profesor kehormatan. Selain itu, penulisan juga harus diikuti dengan nama perguruan tinggi yang memberikan jabatan akademik profesor kehormatan tersebut. Dengan demikian, penulisan gelar profesor kehormatan ditulis Prof. (H.C.) diikuti nama institusi perguruan tinggi pemberi gelar dimaksud.”


Substansi putusan MK di atas, hemat saya bagus. Penulisan gelar profesor kehormatan ditulis Prof. (H.C.) diikuti nama institusi Perguruan Tinggi pemberi gelar. Sayang, Surat Sekjen tidak mencatumkan contoh konkret penulisan yang benar dan lengkap. Pencantuman nama institusi Perguruan Tinggi pemberi gelar, memang amat penting. Mengapa? Karena terkait dengan tanggung jawab institusional dan kredibilitas Perguruan Tinggi yang bersangkutan terhadap publik.


Boleh jadi, Perguruan Tinggi lain, berbeda pendapat perihal kompetensi ataupun prestasi yang dinilainya luar biasa, sebagai syarat pemberian gelar profesor kehormatan itu. Dalam hal demikian, kiranya demi keadilan, maka idealnya, gelar kehormatan tersebut dibatasi hanya berlaku dalam hubungan antara Perguruan Tinggi pemberi dan penerimanya saja, dan hanya untuk urusan akademik semata. Tidak boleh disalahgunakan untuk kenaikan pangkat, untuk persyaratan mendapatkan jabatan struktural, atau urusan lainnya.

Baca Juga: Puan Maharani Banggakan KIP: Semua Generasi Muda Punya Kesempatan yang Sama dalam Dunia Pendidikan

Perguruan Tinggi lain, atau institusi lain, atau pihak manapun yang tidak sependapat, mesti diberi hak menolak penggunaan gelar kehormatan tersebut untuk aktivitas di institusinya.

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB