Tidaklah mudah menindak tegas obligor “nakal” itu. Pangacara akan dijadikan tameng untuk menghadapinya. Kemungkinan besar, kasusnya dibawa ke pengadilan. Di sanalah, segala persoalan mau diselesaikan. Padahal, lembaga peradilan di Indonesia hingga saat ini, masih bermasalah. Profesionalitas hakim, pengacara, jaksa, atau pihak-pihak lain masih dipertanyakan.
Baca Juga: Presiden Minta Pelaku Bisnis Tidak Euforia Sikapi Perbaikan Pandemi di Indonesia
Kedua, pemerintah telah melakukan penyitaan aset. Tidak kurang dari 49 bidang tanah (dari Medan hingga Tangerang). Satu aset di wilayah Karawaci, memiliki luas sekitar 25 hektare. Nilainya mencapai triliunan rupiah. Dalam hal penyitaan aset ini, ternyata, dijumpai berbagai masalah.
Satu contoh. Manajemen PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) menegaskan penyitaan dan perampasan lahan yang dilakukan di kawasan milik perusahaan, saat ini sudah bukan lagi milik Lippo Karawaci. Aset itu sudah milik negara cq. Kementerian Keuangan, sejak 2001," tegasnya. Padahal saat penyitaan, Menteri Keuangan ada di situ. Ini mengindikasikan, aset-aset terkait skandal BLBI masih remang-remang. Boleh jadi, Satgas gagal menginventarisasi secara akurat aset-aset keseluruhannya.
Ketiga, Mahfud MD sebagai Dewan Pengarah Satgas BLBI mengatakan, kalau terjadi pembangkangan meski ini adalah kasus perdata, bisa saja kasus ini akan dibawa ke ranah pidana. “Karena apa? Kalau dia sudah tidak mau mengakui utangnya, atau memberi bukti palsu, atau selalu ingkar, itu bisa saja nanti dikatakan menimbulkan kerugian negara, memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan melanggar hukum, karena tidak mengakui apa yang secara hukum disahkan sebagai utang,” ujar Mahfud dalam konferensi pers pelantikan Satgas BLBI, Jumat (4/5/2021).
Baca Juga: Komnas HAM Minta Pengungkapan Kasus Kebakaran LP Tangerang Dilakukan Secara Transparan
Berkaca pada kasus Sjamsul Nursalim, tampaknya tidak mudah mengkategorikan skandal BLBI sebagai kasus perdata dan/atau pidana. Ketika itu, Sjamsul Nursalim, dianggap korupsi. Tapi di tingkat Mahkamah Agung (MA) dinyatakan tidak ada korupsi. Hakim agung bilang ada kerugian negara, tapi itu bukan korupsi. Ada yang bilang pidana, ada yang bilang perdata. Bahkan, ada yang bilang tata usaha negara. Kasus menjadi semakin rumit, ketika penafsiran hukum oleh hakim agung sulit diterima akal sehat.
Keempat, skandal BLBI, bukanlah semata-mata kasus keuangan dan/atau kasus hukum saja, melainkan di dalamnya berkelindan aspek politik, moral, sosial-kebangsaan, dan lain-lain. Hal ini antara lain terlihat, bahwa diungkitnya kembali skandal ini oleh Pengamat Ekonomi dan Politik Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinagoro, terkait dengan janji Jokowi pada pilpres 2014. Janji itu utang. Janji politik wajib dipenuhi secara politik. Artinya, political will Jakowi, diharapkan terwujud sebagai tindakan nyata. Kalau Jokowi lupa, maka rakyat wajib mengingatkannya.
Bila skandal BLBI semata-mata diproses sebagai kasus hukum, besar kemungkinan hanya berhenti pada tataran keadilan formal. Kalau diselesaikan secara politik, diprediksi akan ada permainan hukum oleh kekuatan politik. Lantas, dapatkah skandal BLBI diselesaikan tuntas? Semoga Satgas BLBI mampu bertindak secara progresif dan professional. Wallahu’alam.*
Penulis, Guru Besar Ilmu Hukum UGM