Oleh: Sudjito Atmoredjo*
ADA kabar cukup riuh. Kelupaan terhadap skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) diungkit lagi, dan diupayakan dituntaskan. Seriuskah? Pertanyaan demikian dikemukakan bukan karena pesimistis, melainkan suatu harapan yang muncul dari hati nurani rakyat, kepada pemerintah.
Uang rakyat dalam jumlah besar, raib, karena skandal BLBI. Pemerintah memperkirakan jumlahnya sekitar Rp.111 triliun. Sumber lain menyebut sebesar Rp.138,442 triliun. Bahkan ada yang menyebut Rp.144,536 triliun. Perbedaan satu sumber dengan sumber lain, cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan, masalahnya rumit. Bagaimana bisa tuntas kalau perihal jumlah uang yang raib saja tidak pasti?!
Pastilah rakyat tidak bersalah. Tanpa salah ataupun noda, rakyat menjadi korban dari kebijakan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah. Mungkin saja, ada niat baik pada pemerintah untuk mengatasi krisis keuangan pada saat itu. Tetapi mereka yang ditolong, justru menilep bantuan itu. Alih-alih balas budi, justru menggunting dalam lipatan, menusuk kawan seiring, tak peduli terhadap penderitaan rakyat.
Baca Juga: Seminar Nasional LPPM Unisa Yogyakarta: Era Manusia Hidup Berdampingan dengan Teknologi
Apa itu skandal BLBI? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bicara soal asal-usul BLBI. Dijelaskannya, 22 tahun yang lalu, 1997-1999, terjadi krisis keuangan di Indonesia. Karena krisis tersebut banyak bank mengalami kesulitan. Banyak bank mengalami penutupan, atau dilakukan merger, atau akuisisi.
“Pemerintah dipaksa untuk melakukan apa yang disebut penjaminan blanket guarantee kepada seluruh perbankan di Indonesia. Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan maka Bank Indonesia melakukan apa yang disebut bantuan likuiditas kepada bank-bank yang mengalami kesulitan," tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers penyitaan aset BLBI di perumahan Perumahan Lippo Karawaci, Kel. Kelapa Dua, Tangerang, Jumat (27/8/2021).
Bantuan likuiditas itu dibiayai dalam bentuk surat utang negara yaitu surat utang negara yang diterbitkan oleh pemerintah, yang sampai sekarang masih dipegang oleh Bank Indonesia. Pemerintah selama 22 tahun selain membayar pokoknya, juga membayar bunga utangnya, karena sebagian dari BLBI itu ada yang menggunakan tingkat suku bunga yang memang sebagian dinegosiasikan.
Baca Juga: Tes SKD CPNS Pemkot Yogya Digelar di GOR Amongrogo Mulai 25 September, Peserta Wajib Vaksin Covid-19
Namun, pemerintah selama 22 tahun menanggung tadi yang disebut langkah-langkah untuk menangani persoalan perbankan dan keuangan yang bebannya hingga sampai saat ini. Untuk mengurangi atau mengkompensasi dari langkah penyelamatan perbankan, maka pemilik Bank atau debiturnya harus mengembalikan dana tersebut.
Nyatanya, para obligor atau debitur itu nakal, wanprestasi, bahkan ngemplang. Beban dan tanggungjawab terhadap Bank Indonesia harus dipikul pemerintah. Sesuai dengan Undang-undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, kedudukan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota kabinet dan anggota Dewan Moneter (pada waktu itu) membawa konsekuensi tanggung jawab di bidang policy maupun financial.
Aspek tanggung jawab Bank Indonesia di bidang financial ini dapat dipisahkan dari pemerintah, namun dari segi policy merupakan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Kalaupun Undang-undangnya sudah berubah, hemat saya, tidaklah serta merta menghilangkan tanggungjawab kedua lembaga negara tersebut. Oleh karena itu kebijakan BLBI merupakan kebijakan dan tanggung jawab Pemerintah, sedangkan secara financial merupakan tanggung jawab Bank Indonesia.
Baca Juga: Kemenkes : Kasus Konfirmasi Positif dan Kematian Akibat Covid-19 Menurun Dalam Empat Pekan Terakhir
Kini, melalui Satuan Tugas (Stagas) BLBI, beban pemerintah itu diupayakan diminimalkan atau dikurangi. Caranya melalui negosiasi-negosiasi. Langkah-langkah konkrit telah dilakukan pemerintah, antara lain pemanggilan terhadap para obligor, dan penyitaan aset.
Dari perspektif sosiologi hukum, penuntasan skandal BLBI, diperkirakan dihadapkan pada berbagai kendala, antara lain:
Pertama, para obligor BLBI, umumnya “orang-orang kuat dan memiliki posisi startegis di dalam atau diluar pemerintahan”. Dalam posisi dan kekuatannya, telah tampak ada tanda-tanda pembangkangannya. Ada obligor yang datang dengan baik-baik. Namun ada obligor yang mangkir hingga panggilan ketiga.