opini

Catatan Hendry Ch Bangun: Status Wartawan Utama

Minggu, 20 Agustus 2023 | 06:00 WIB
Hendry Ch Bangun (Dok.pribadi)

 Berkunjung ke sebuah daerah untuk kegiatan pers, suatu kali saya didatangi seorang. Dengan wajah sumringah dia menyapa saya, “Saya sudah sah  menjadi wartawan Utama, Bang. Ini baru keluar kartunya,” lalu menunjukkan kartu kompetensi Utama, berlambangkan organisasi pers dan Dewan Pers.

“Bagus. Bagus. Ingat, tanggung jawab Wartawan Utama besar lho.” “Siap Bang. Terima kasih ya. Saya sekarang sudah bisa menjadi Pemred.”

Menengok ke belakang, perasaan saya campur aduk. Status sebagai Wartawan Utama, ketika Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan dikeluarkan pada tahun 2010, masih dipandang sebelah mata oleh banyak pengurus media, khususnya media “besar”, mainstream.  Padahal di sana sudah diatur bahwa Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Media sudah disebutkan wajib memiliki sertifikat kompetensi utama karena besarnya tanggung jawab di pundaknya.

Baca Juga: Kumpulan cerita lucu dan kisah zaman sekarang masih ada orang baik dan maunya mancing malah kecebur rawa

Dalam perkembangan upaya mendapatkan sertifikat Utama ini menjadi hangat ketika status terverifikasi media dikeluarkan Dewan Pers, ditandai dengan penyerahan sertifikat pada Hari Pers Nasional di Ambon, Maluku, tahun 2017. Status Terverifikasi media, Administrasi atau Faktual, memerlukan syarat bahwa Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab harus Utama. Dan sering status itu dijadikan pembatas oleh lembaga pemerintahan di daerah media yang dapat melakukan kemitraan pemberitaan alias bekerja sama soal iklan.

Kebutuhan pasar ini lalu membuat banyak yang dengan berbagai upaya mengikuti uji kompetensi utama, yang sampai dengan tahun 2019 masih bebas memilih ikut ujian kelompok muda, madya, atau utama, asal sesuai dengan jabatannya di media. Seleksi ada di tangan lembaga uji, yang jumlahnya belasan sesuai dengan asesmen yang dibuat Dewan Pers.

Setelah itu, semua perserta ujian harus mulai dari kelompok Muda, untuk ikut ujian Madya dia harus menunggu tiga tahun, dan ikut ujian ke Utama selama 2 tahun. Namun ada pengecualian bagi mereka yang sudah dan masih aktif melakukan kegiatan jurnalistik di atas 20 tahun, berumur 50 tahun, dst. Saat ini masih ada perkecualian, disebut akselerasi atau percepatan, dan mendapat rekomendasi dari tiga Pemimpin Redaksi media “besar”. Kata akhir ada di Dewan Pers, meski nanti ujiannya dilakukan oleh lembaga uji yang mengajukan calon peserta.

Dengan proses yang tidak mudah ini maka banyak yang merasa sangat bahagia ketika pada akhirnya mendapat status Wartawan Utama.

Baca Juga: Indonesia jadi tuan rumah FIBA World Cup, Erick Thohir: Kesempatan langka menyaksikan bintang basket dunia

Di luar kepentingan media, di organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), untuk menjadi Ketua PWI Provinsi selain pernah menjadi pengurus di daerah, calon pun wajib berstatus Wartawan Utama. Untuk pengurus lain, boleh bersatus wartawan Madya atau Utama. Termasuk bila ingin memimpin PWI Kabupaten atau Kota. Itu juga yang menjadi salah satu penyebab PWI termasuk yang paling banyak melakukan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dibandingkan organisasi wartawan lainnya di Tanah Air dan paling banyak pula memiliki wartawan bersertifikasi kompetensi.

Syarat berstatus Wartawan Utama pula yang membuat seseorang berhak menjadi penguji di Lembaga Uji PWI. Semasa saya menjadi Sekjen PWI Pusat, dilakukan asesmen, lalu ToT, dan magang untuk bisa menjadi penguji. Syarat asesmen sekarang ditiadakan entah karena alasan apa. Sayang sekali. ***

Ketika masih mengurusi pengaduan di Dewan Pers (2016-2022), status kompetensi banyak yang tidak berkorelasi dengan kinerjanya. Sudah memimpin media tetapi tidak faham kode etik jurnalstik. Almarhum Leo Batubara beberapa kali mengecoh penanggung jawab media. “Coba kau sebutkan berapa pasal kode etik jurnalistik. 12 atau 15,” katanya menjebak.  Karena sama sekali tidak tahu, sedikit ragu dijawablah pertanyaan itu. “Lima belas, Pak.”  “Ah kau ini. Baca ini,” ujarnya menyodorkan Buku Saku wartawan. Membaca sebentar, barulah penanggung jawab media itu dengan mesem-mesem menjawab. “Sebelas pasal, Pak.”

Baca Juga: Cerita misteri Darto diikuti sosok yang menyerupai temannya sejak dari nonton konser band hingga ikut menginap

Kejadian paling parah saya alami ketika memimpin sidang kasus sebuah media di Riau. Penanggung jawab dengan terus terang dia tidak bisa menulis ketika dikonfrontir.  Dia mengaku meliput sebuah persidangan tetapi yang dimuat justru rilis, yang isinya menuding peradilan tidak objektif, dan beritanya cenderung menghakimi. Lalu saya tanya mengapa bisa memiliki kartu Utama?

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB