Dia berkisah, latar belakangnya Teknologi Informasi dan bekerja sebagai tenaga TI di medianya, tapi karena harus menjadi Pemred menggantikan kakaknya, dia diikutkan UKW. Rupanya dalam proses pengujian, peserta diberi pelatihan, lalu ada simulasi mata uji. Termasuk membuat tajuk, mengevaluasi liputan investigasi dst. Hasil simulasi yang sudah dikoreksi, disesuaikan standar kelulusan, dijadikan karya di peserta dalam ujian sebenarnya. Ya luluslah dia.
Teguran sudah dilakukan Dewan Pers terhadap lembaga uji tersebut, dan lembaga uji lain yang dianggap mudah memberi kelulusan, tetapi saya tidak tahu apakah kualitas lulusannya lalu berubah. Karena Dewan Pers tidak punya tangan mengecek satu persatu, jadi kualitas itu hanya bisa diketahui kalau media itu diadukan oleh masyarakat.
Kualitas dalam berbagai spektrum menjadi penting karena status Wartawan Utama terkait tanggung jawabnya memimpin media berimplikasi luas. Media bertugas menjaga moralitas bangsa, mengingatkan kepada siapa saja khususnya pengelola negara di cabang eksekutif, legislatif, yudikatif, untuk menjalankan tugas sesuai sumpahnya, berpihak kepada rakyat, tidak menyalahgunakan jabatan, dst. Tetapi bagaimana media bisa dihargai kalau pemimpin redaksi, penanggung jawabnya juga suka melanggar kode etik, berpihak kepada kelompok kepentingan, suka menuduh, mudah dirayu uang dalam bentuk berita berbayar padahal beritanya keras mengkritik dan menghantam, dst.
Baca Juga: Mobil hias meriah pawai pembangunan Sukoharjo yang dipenuhi ribuan penonton
Itulah sebabnya tudingan miring banyak terjadi. Ada media ternama yang seolah tegas dan kritis, hajar sana hajar sini, tetapi di media itu dimuat juga berita buatan pemesan yang isinya seperti rilis humas dan bahkan satu angle membela kepentingan lembaga. Kok bisa berdampingan si cantik dan si buruk rupa? By design untuk cari setoran atau keberimbangan? Perlu ada studi kasus.
Saya pernah berkunjung ke sebuah media independen di Berlin pada tahun 2000 ketika diundang Institut Jurnalismus Berlin, saya lupa namanya. Kantornya di lantai dua sebuah bangunan tua, mengingatkan saya pada kantor beberapa media di Asemka. Sederhana cenderung kurang terurus. Kami akhirnya tidak jadi bertemu di sana dan pindah ke sebuah kedai kopi karena di kantor itu rupanya tidak ada hidangan teh atau kopi. Si redaktur menegaskan independensinya dan hanya mengandalkan pemasukan dari lembar koran yang terjual dan iklan. Di kanan atas halaman satu tertulis juga, kira-kira bunyinya, mari bantu media independen dengan berlangganan atau membeli eceran. Cuma itu dia, pemasukan minim, ekonomi media itu tidak berkembang.
Di Indonesia juga ada media yang diterbitkan yayasan atau perkumpulan, tidak mau berbadan hukum perusahaan, dan independen. Karena mereka itu umumnya wartawan sekaligus aktivis, bagi mereka juga tidak penting sertifikat kompetensi. Medianya juga mendapat sumbangan lembaga atau perseorangan untuk operasional redaksii. Yang jelas karya jurnalistiknya, kata orang Glodok, oke punya. Tidak ada masalah moral, karena mereka hanya menulis. Tidak masuk struktur pengurus media, yang dapat terombang ambing urusan modal, keuntungan, dan kepentingan pembayar iklan. ***
Saya kerap merenung, dengan kondisi faktual yang ada sekarang, kewibawaan Wartawan Utama agak atau malah semakin merosot. Saya membayangkan Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Sabam Siagian, mungkin sudah malu dengan kartu Utama yang mereka peroleh dari Dewan Pers karena status “kebegawanannya” yang diakui siapapun. Soalnya ada banyak wartawan utama, bahkan penguji, yang menurut opini saya tidak pantas menyandang status itu kalau profesi wartawan tidak hanya dikaitkan dengan kompetensi teknis jurnalistik.
Wartawan haruslah manusia utuh, yang selain profesional dalam bekerja, juga memiliki standar moral pribadi yang mumpuni. Menurut pendapat saya perlu ada koreksi atau penambahan di dalam mata uji kompetensi kelompok Utama ini sehingga minimal lulusannya lebih memahami posisi vitalnya, meski di beberapa media, Pemimpin Redaksi kedudukannya di bawah General Manager. Kalau perbaikan di level Dewan Pers sulit karena membutuhkan waktu panjang, lembaga uji bisa melakukannya sendiri-sendiri.
Mari kita diskusikan, masihkah pantas jadi Wartawan Utama, padahal dia kerap melakukan KDRT? Diberhentikan dari perusahaannya karena melanggar aturan terkait moral, keuangan atau korupsi? Tertangkap melakukan perzinahan? Tertangkap menjadi petugas partai atau kelompok yang menjadikan dia tidak independen?
Perbaikan tentu harus bersifat holistik. Setelah kurikulum, tentu proses penyaringan penguji. Idealnya, media yang baik akan memiliki wartawan yang baik, tetapi sulit diterapkan dan tidak adil. Paling bagus adalah asesmen dengan lembaga yang kredibel. Hasilnya pasti objektif. Tetapi sebelum diikutkan dalam Training of Trainer (ToT), harus diumumkan ke seluruh anggota organisasi katakan dalam masa tenggang 2 minggu, untuk mendapat masukan. Siapa tahu dia berstatus tersangka, atau kawin lagi tanpa izin, atau punya anak haram.
Banyak saringan memang ruwet, tetapi akan lebih baik ketimbang diloloskan hanya karena dekat dengan orang penting di organisasi. Sekaligus menunjukkan keterbukaan, kejujuran, dalam proses seleksi sehingga lembaga ujinya menjadi kredibel. Apalagi ditambah dengan Pakta Integritas dan Kode Etik Penguji yang ditandatangani setelah memenuhi semua syarat.
Semua kita harus merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan marwah Lembaga Uji dan martabat lulusannya terutama Wartawan Utama. Banyak konsekuensinya kalau dibiarkan berlangsung begitu saja, tanpa teguran dan tanpa sanksi khususnya bagi mereka yang terbukti menyeleweng.
Wallahu a’lam bhisawab.