MASYARAKAT dihebohkan dengan mencuatnya kasus investasi fiktif yang dilakukan seorang teller bank BUMN di Yogya, berinisial RL. Ia berhasil mengelabui 13 nasabah dan meraup uang hingga Rp 5,6 miliar dengan modus investasi fiktif.
Yakni menawarkan kepada nasabah produk tabungan baru dengan bunga 1,5 persen perbulan, persyaratannya uang mengendap hingga 1 tahun atau 6 bulan, minimal Rp 100 juta.
Anehnya, nasabah tidak diberi kartu ATM. Karena bunganya cukup tinggi, tak kurang 13 nasabah menginvestasi ke produk tabungan baru tersebut. Padahal, produk tabungan baru itu bukan program resmi dari bank bersangkutan. Nasabah mungkin hanya percaya begitu saja, karena yang menawarkan adalah teller bank.
Barulah setelah dilakukan audit internal, semua akal-akalan RL terbongkar. Ternyata RL bikin kartu ATM nasabah untuk digunakan pribadi dan mentransfer uang dari simpanan nasabah ke rekening pribadi. Agar aksinya meyakinkan, RL tetap mentransfer uang ke tabungan nasabah seolah-olah sebagai bunga bank seperti yang dijanjikan.
Andai tidak dilakukan audit internal, boleh jadi kasus tersebut tak segera terungkap. Bayangkan, akal-akalan RL ini sudah berlangsung hingga enam tahun. Mengapa tidak ketahuan ? Apakah tidak ada pihak lain yang terlibat investasi fiktif ini ? Biarlah Kejati DIY yang melacaknya, karena kasus tersebut kini sedang mereka tangani.
Kejati DIY mengkualifikasikan kasus tersebut korupsi. Biasanya, dalam kasus korupsi, negara menyita uang yang dianggap hasil kejahatan itu. Padahal, itu adalah uang nasabah. Lantas, bagaimana dengan nasib nasabah. Tentunya pihak bank sudah memikirkan dengan berkoordinasi dengan Kejati DIY.
Intinya, jangan sampai nasabah yang telah tertipu RL dirugikan tak mendapatkan uangnya kembali. Pun jangan sampai hukum hanya menjatuhkan pidana kepada RL, namun tak bisa memberi perlindungan hukum kepada nasabah. Justru nasabah inilah yang harus mendapat prioritas jaminan perlindungan hukum.
Dengan adanya kasus tersebut, masyarakat hendaknya waspada, teliti sebelum menanamkan investasi. Sekalipun di bank pemerintah atau BUMN, masyarakat tetap harus jeli dan melakukan kroscek. Jangan sampai menjadi korban oknum seperti RL yang statusnya sebagai teller. Apakah bank memang mengeluarkan produk baru, semua bisa dicek lewat institusi resmi. Namanya oknum bisa di mana saja dan melakukan kejahatan, termasuk di dunia perbankan. (Hudono)