Baca Juga: Bus Rombongan Wisatawan Terguling di Tanjakan Gemulung Gunungkidul, 7 Penumpang Dilarikan ke RS
“Bumi ini, tempat hidup kita. Terhampar luas, tanah, air, dan angkasa. Di dalam bumi ada
air. Ada tambang emas, minyak, nikel, batubara, timah, dan sebagainya. Di lautan, tersimpan
banyak mutiara. Udang dan ikan melimpah-ruah. Bahkan, terdeteksi ada harta karun dari orang kaya tempo dulu”.
Dalam nada rendah hati, ilmuwan profetik, membalas dengan cerita lain. “Saya selalu
iba, kasihan, dan prihatin. Engkau dan kaummu, banyak tahu tentang dunia seisinya. Engkau
berlomba-lomba memilikinya. Berbagai cara, tak peduli legal atau ilegal, kau gunakan.
Kesibukanmu luar-biasa. Siang dan malam, kau habiskan untuk menggapai nafsu materi-
duniawi. Ketika tiba-tiba maut menjemputmu, adakah materi-duniawi itu kau bawa?. Kau
penggal kesinambungan kehidupan dunia dan akhirat. Oh kasihan“.
Cerita ilmuwan sekuler berlanjut. “Aku bangga mampu mendeskripsikan perjalanan
kehidupan manusia, sejak zaman purba hingga zaman postmodern. Kemarin, baru saja saya
temukan batu-batu delima merah dan hijau. Sebegitu banyak dan indah dipandang mata. Agar dikagumi pula oleh orang lain, maka sebagian kupamerkan di hotel-hotel mewah. Sebagian lainnya masih kusimpan di gua-gua. Itu semua dapat kumiliki karena ilmuku”.
Ilmuwan profetik menimpali. “Ilmumu dan ilmuku, tidak lebih banyak dari air yang
menempel di telunjuk jari, ketika jari kita celupkan dalam gelas. Padahal tuhanku, sebagai al-
Ilm, ilmunya lebih banyak daripada air seluruh lautan. Mengapakah engkau sombong?!
Bukankah kesombongan itu watak iblis yang sesat?!.
Ilmuwan, mestinya menjadi pelita kehidupan. Rendah hati, berwawasan luas. Tatkala
praktisi bersedia menimba ilmu, demi pemantapan tugas dan tanggungjawab profesinya,
mestinya berpikir visioner. Artinya, ada frame atau haluan bertindak secara benar, utuh,
menyeluruh, berkelanjutan. Bukan sekedar urusan jangka pendek, urusan duniawi semata,
melainkan berkesinambungan dengan nasib anak-cucu, dan kehidupan abadi di akhirat.
Baca Juga: Aktor Senior Pierre Gruno Diduga Jotosi Lansia di Sebuah Bar di Jakarta Selatan
Dengan kata lain, paradigma holistik mesti menjadi acuannya.
Hemat saya, sungguh suatu kecelakaan bila ada bangsa tidak memiliki haluan
pembangunan, kecuali hanya berpatokan pada janji-janji politik sebagai visi dan misi jangka
lima tahunan. Apalagi tiada jaminan bahwa janji politik mesti ditepati, dengan berbagai alasan.
Kesombongan atas prestasi sendiri, ataupun disapresiasi terhadap prestasi lawan politik,
kini bertebaran seolah debu-debu jalanan. Bikil gatal, sesak nafas, lingkungan kumuh. Begitu
banyak berita hoaks, disequal, dibungkus dengan judul provokatif. Amat disayangkan, marak
oknum politisi sibuk urusan politik semata, serta-merta licik mempermainkan hukum tanpa
moral. Muaranya, anarki. Kapan muncul kesadaran berbangsa secara adil dan beradab?
Wallahu’alam.*
*)Prof Dr Sudjito SH MSi, Guru Besar Ilmu Hukum UGM.