opini

Hukum, Kesibukan, dan Anarki

Senin, 3 Juli 2023 | 09:30 WIB
Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi (Dok pribadi)


Oleh: Sudjito Atmoredjo*)

Sibuk, sibuk, sibuk. Itulah kata-kata yang sering dijadikan alasan oleh seseorang untuk
absen dari tanggung jawab. Padahal, semakin tinggi status sosial seseorang, semakin banyak
pekerjaan, tugas, atau amanah yang mesti ditunaikan. Problema muncul, ketika pemimpin sibuk dengan diri sendiri, kemudian lupa, lalai, ingkar terhadap tanggung jawab kepemimpinannya. Di situlah, kesibukan pemimpin berdampak buruk, berbuah anarki, merugikan institusi, organisasi, masyarakat, hingga bangsa dan negara.


Yudi Latif, dalam Edulatif, No. 6-2023 bertutur tentang “Menanam Masa Depan”.
Dikatakan, ada satu jenis anarki yang mengancam keberlangsungan bangsa. Anarki ini mewabah karena tekanan orientasi sesaat yang menimbulkan retakan dalam kesinambungan antarwaktu.


Simon Caney menyebutnya dengan "intertemporal anarchy".
Dikatakan, di negeri ini, gelaja short-termism begitu menggurita. Dalam politik, ada satir:
dua tahun bekerja, setelah itu persiapkan pemilihan. Haluan jangka panjang diabaikan oleh janji musiman kampanye pemimpin politik. Dalam bisnis, asal bisa tumbuh, kekayaan alam dikuras dengan merusak lingkungan dan kemakmuran berkelanjutan.

Baca Juga: Pengunjung Diajak Bernostalgia di Pesta Senja Kotabaru Yogyakarta


Dari pernyataan di atas, masalah anarki dan gejala short-termism, layak menjadi
perhatian orang-orang bijak dan berakal sehat. Siapakah orang bijak dan berakal sehat itu? Yaitu orang yang mampu membagi dan mengisi waktu dengan tiga kegiatan secara terpadu dan berkesinambungan.


Pertama, sepertiga waktu diisi dengan aktivitas-aktivitas bernilai ibadah. Setiap saat,
terhubung antara dirinya dengan Rabil’alamin. Orang demikian senantiasa ingat, hakikat
penciptaan manusia, tiada lain untuk beribadah kepada Allah swt. Misal, bagi muslimin/muslimah kewajiban menegakkan shalat wajib lima waktu sehari. Bagi orang Kristen,
beribadah ke Gereja sekali dalam seminggu. Ke pura bagi penganut agama Hindhu. Demikian
seterusnya, sesuai keyakinan masing-masing.


Kedua, sepertiga waktu diisi dengan penunaian tugas dan tanggungjawab selaku anggota
masyakarat atau warga negara atau penyelenggara negara. Masing-masing di antara kita, ada
amanah sosial-kebangsaan, dalam posisi dan jabatan berbeda-beda. Sebagai penyelenggara
negara misalnya, terikat dengan masa jabatan. Umumnya lima tahun. Selama masa jabatan
itulah, seseorang wajib mengabdikan sepertiga waktunya untuk masyarakat dan bangsanya.


Tiadalah dibenarkan, karena alasan pemilihan umum, maka hanya dua tahun waktu efektif
diabdikan. Selebihnya (tiga tahun) justru untuk kepentingan pribadi. Kalau ini terjadi, berarti
telah korupsi waktu, korupsi gaji buta, dan korupsi berbagai fasilitas kedinasan. Ini haram
hukumnya.

Baca Juga: Digelar di Enam Kota, UM CBT UGM 2023 Dijamin Tak Ada Kecurangan


Ketiga, sepertiga waktu digunakan untuk pembinaan keluarga. Tak bisa dipungkiri,
bahwa hakikat keluarga, adalah basis pembinaan akhlak. Orangtua, bertanggungjawab terhadap masa depan anak-anaknya. Tumbuh-berkembangnya akhlak pada anak-anak, akan mewarnai kehidupan keluarga, masyakat, hingga bangsa. Perlu disadari, menyerahkan kepada sekolah-sekolah untuk pendidikan akhlak, sungguh tidak cukup. Tiadalah dibenarkan karena alasan kesibukan tugas kantor, kemudian keluarga pasrah bongkokan untuk asuhan dan pendidikan anak kepada sekolah sepanjang hari.


Negeri ini sebenarnya kaya orang bijak dan berakal sehat. Mereka itu adalah ilmuwan
sejati. Banyak ilmuwan mampu mengungkap realitas kehidupan, sekaligus membuat analisis,
dan prediksi-prediksi. Objek kajiannya, sebatas urusan-urusan materi-duniawi. Instrumen
kajiannya, sebatas ratio, logika, akal. Itulah ilmuwan sekuler.


Banyak pula ilmuwan berfokus pada objek dan wilayah kajian mencakup alam
nyata/indrawi (‘alam syahadah), dan sekaligus alam supernatural (‘alam malakut atau ‘alam
ghaib). Urusannya, dunia-akhirat. Instrumen kajiannya, jiwa, kalbu, hasrat, plus akal sehat,
didukung raga. Seluruhnya didayagunakan secara terpadu dan sistemik. Itulah ilmuwan profetik.


Dua madzab keilmuan di atas, masing-masing memiliki keunikan pada kesibukannya, hingga
proses, dan hasil kerjanya.


Al kisah. Suatu ketika, bertemulah ilmuwan sekuler dengan ilmuwan profetik. Keduanya
berdialog berbagai segi kehidupan. Dalam semangat dan nada percaya diri, ilmuwan sekuler
bercerita.

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB