HARIAN MERAPI - Musyawarah salah satu jalan menuju terciptanya keluarga samara. Tercapainya tujuan perkawinan yakni membentuk keluarga yang sakinah mawaddah dan
rahmah (Keluarga Samara) sangat ditentukan oleh proses sebelum perkawinan yakni saat pemilihan jodoh.
Memilih jodoh hendaklah yang sekufu, artinya kondisi fisik, psikologis, sosial ekonomi,
pendidikan, kedewasaan dan pengalaman beragama memiliki kesetaraan serta kesejajaran.
Meskipun disadari sepenuhnya bahwa untuk mendapatkan pasangan yang ideal seperti ini bukanlah merupakan sesuatu yang mudah, mengingat masih besarnya kesenjangan cara pandang tentang kehidupan yang ada dalam masyarakat.
Baca Juga: Perkembangan kasus penjualan bayi, klinik persalinan diduga tidak berizin
Suami dan istri secara bersama-sama bertanggung jawab atas terciptanya keluarga samara (sakinah, mawaddah wa rahmah) yang merupakan modal utama terciptanya masyarakat yang damai, aman dan penuh nuansa kebersamaan.
Untuk membangun keluarga samara, dalam buku yang berjudul Fondasi Keluarga Sakinah,
Bacaan Mandiri Calon Pengantin yang diterbitkan oleh Ditjen Bimas Kementrerian Agama Republik
Indonesia dijelaskan ada beberapa prinsip dalam perkawinan untuk menuju keluarga samara; yaitu:
Pertama, berdasarkan batas-batas yang ditentukan Allah SWT. Terkaita dengan perkawinan
dan keluarga Allah SWT telah memberikan batas-batas sebagai berikut :
(1) larangan menggauli istri saat i’tikaf di masjid (QS. Al-Baqarah; 2:187), (2) perselisihan suami-istri (QS. Al-Baqarah; 2:229), (3) thalaq ba’in (QS. Al-Baqarah; 2:230), (4) Waris (QS. An-Nisya’; 4:13-14), (5) sumpah dhihar (QS. Al-Mujadilah; 58:4) dan (6) Perceraian (QS. Ath-Thalaq; 65:1).
Baca Juga: MUI: Etika, dan adab atau tata krama adalah pendidikan dasar yang harus dimiliki para dai
Kedua, saling rela (ridha). Allah SWT menyebutkan prinsip ini tentang bolehnya mantan istri
setelah habis masa idah untuk menikah dengan laki-laki lain jika keduanya saling rela (QS. Al-
Baqarah; 2:232), bolehnya menyusukan bayi pada perempuan lain jika ayah dan ibu saling rela (QS. Al-Baqarah; 2:232), dan bolehnya suami menggunakan mahar yang menjadi hak istri jika keduanya saling rela (QS. An-Nisya’; 4:24).
Ketentuan ini jelas didasarkan kepada kemaslahatan bersama, bukan ditentukan oleh kepentingan salah satu pihak sesuai dengan keinginannya sendiri.
Ketiga, tulus (nihlah). Istilah nihlah (tulus) muncul dalam konteks pemberian mahar oleh
suami kepada istri (QS. An-Nisya’; 4:4). Dalam beberapa masyarakat, mahar dianggap bagai
pembayaran atas istri.
Semakin tinggi nilai ekonomi sebuah mahar maka akan semakin tinggi pula rasa memiliki suami atas istri. Mahar kemudian bisa menyebabkan istri kehilangan kekuasaan atas dirinya karena telah diambil sepenuhnya oleh suami. Pandangan Islam tidak seperti itu, mahar harus diberikan suami dengan tulus, bukan sarana untuk menuasai istri.
Baca Juga: Dipicu cuaca ekstrem, harga kebutuhan pokok pangan merangkak naik jelang Natal dan Tahun Baru
Keempat, musyawarah. Prinsip musyawarah muncul dalam QS. Al-Baqarah; 2:233 yang
berkaitan dengan sumai dan istri bisa memutuskan untuk menyusukan bayi mereka pada perempuan lain setelah keduanya bermusyawarah dan setuju atas keputusan itu.