JOGJA kembali menjadi sorotan menyusul terbongkarnya praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di wilayah Gedongtengen Yogya. Sebanyak 53 perempuan disekap di penampungan dan dipekerjakan sebagai pemandu lagu di Pasar Kembang.
Kasus ini terbongkar setelah salah satu korbannya melarikan diri dengan cara memanjat tembok dan menjebol eternit di rumah tetangga tempat penampungan.
Polisi yang mendapat laporan dari warga langsung meluncur ke lokasi dan mendapati sebuah salon yang diduga sebagai tempat penampungan. Ternyata salon tersebut hanyalah kedok, karena di belakangnya ada bangunan yang digunakan untuk penampungan. Mereka tak boleh keluar penampungan selain untuk bekerja sebagai pemandu lagu dan diantar dijemput.
Baca Juga: Pengalaman mistis Surti tinggal di rumah kuno peninggalan Belanda yang di belakangnya ada makam
Dua pelaku berhasil diamankan, namun mereka mengelak melakukan pemaksaan. Menurut pelaku, para wanita itu bekerja tanpa paksaan alias kemauan sendiri dengan gaji dan potongan yang telah disepakati. Bahkan pelaku mengelak bila mereka dijadikan pekerja seks komersial (PSK), melainkan hanya menjadi pemandu lagu.
Kasus ini mendapat perhatian serius dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA), apalagi terjadi di Yogya yang notabene dikenal sebagai kota pendidikan.
Padahal, kasus di luar Yogya jauh lebih parah dan lebih banyak korbannya. Diduga korbannya tidak hanya 53 perempuan, tapi lebih. Karena polisi mendapati setidaknya 120 KTP di tempat penampungan.
Baca Juga: Ketika makhluk halus ingin menjadi artis pengganti dalam pembuatan sinetron bergenre horor
Yang lebih memprihatinkan, dari 53 perempuan yang dijadikan pemandu lagu, dua di antaranya masih di bawah umur. Polisi pun menerapkan dua aturan sekaligus, yakni TPPO dan Perlindungan Anak. Pelaku terancam dituntut pasal berlapis.
Hal yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah, terutama penegak hukum, pelaku pandai berkelit dan tidak mengakui bahwa mereka dijadikan PSK. Lebih ironis lagi, praktik perdagangan orang ini sudah berlangsung sejak tahun 2014. Tempat tersebut sering untuk lalu lalang perempuan yang diperdagangkan.
Mengapa baru terbongkar saat ini ? Aneh juga kalau masyarakat atau aparat penegak hukum tidak tahu. Mungkin masyarakat diam saja, karena di tempat tersebut sudah dianggap hal biasa ada praktik prostitusi. Persoalannya, hal itu dilakukan dengan paksaan atau bujukan dengan iming-iming uang pinjaman dan sebagainya.
Baca Juga: Sebanyak Rp1 triliun uang kejahatan lingkungan masuk ke parpol, PPATK lapor ke KPU
Mestinya kasus ini menjadi pintu pembuka untuk membongkar kasus yang lebih besar lagi. Lagi-lagi, ini tergantung dari political will aparat penegak hukum. (Hudono)