SEKELOMPOK remaja terdiri atas enam orang melakukan pembacokan terhadap pengendara motor yang kebetulan berpapasan dengan mereka di wilayah Galur Kulonprogo belum lama ini. Pelakunya anak berumur belasan tahun, rata-rata usia 18 tahun.
Dalam aturan hukum pidana, bila anak sudah menginjak usia 18 tahun dikualifikasikan sebagai orang dewasa. Artinya, mereka sudah bukan lagi anak-anak. Orang lebih sering menyebutnya sebagai kelompok klitih.
Mengapa mereka begitu beringas membacok orang yang tak dikenalnya ? Menurut informasi, sebelumnya mereka pesta miras di daerah Temon Kulonprogo. Usai menenggak miras mereka bikin onar di jalanan sembari membawa celurit. Apes, dua pelajar yang kebetulan berpapasan dengan mereka menjadi korban.
Padahal mereka tidak saling kenal. Pelaku balik arah dan mengejar dua pelajar tersebut dan langsung menyabetkan celurit mengenai lengan. Korban berusaha menyelamatkan diri dengan mendekati warung angkringan, sementara pelaku kabur. Namun salah seorang pelaku berhasil diamankan warga, yakni BZA (18) di daerah Lendah.
Dari penangkapan itulah polisi berhasil meringkus lima temannya. Mereka pun dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, 351 KUHP tentang penganiayaan dan UU Darurat No 2 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun.
Lagi-lagi miras menjadi pemicu terjadinya kejahatan. Gara-gara menenggak miras mereka berbuat nekat membacok pengendara motor. Apakah tanpa miras lantas mereka dijamin berbuat baik ? Belum tentu juga. Diduga mereka kurang mendapat pendidikan budi pekerti yang cukup, sehingga kelakuannya membahayakan orang lain.
Baca Juga: Kera liar menyerbu lahan pertanian warga, Polres Temanggung mengusir gunakan tembakan gas air mata
Dalam kasus ini, polisi perlu split kasus, karena salah seorang pelaku diduga masih di bawah umur, yakni 15 tahun. Jika demikian yang bersangkutan akan diproses menggunakan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Polisi tak selalu harus menerapkan diversi atau penyelesaian di luar hukum, karena dikhawatirkan tidak menimbulkan efek jera. Lebih baik proses hukum biasa, namun tetap berperspektif perlindungan anak.
Mesksi kasusnya terjadi di Kulonprogo namun mempengaruhi imej bahwa jalanan di Yogya masih belum aman. Kasus semacam ini sebenarnya bisa terjadi di mana saja. Lantaran Yogya menjadi sorotan nasional, karena predikat sebagai kota pelajar, kota ramah dan bersahabat, maka kasus kekerasan sekecil apapun gaungnya bisa ke mana-mana.
Untuk itu, polisi diharapkan tidak mengendurkan patroli di jalanan, terutama di tempat yang relatif sepi di malam atau dini hari. Sebab, klitih biasanya beraksi di jalan yang sepi dan tak ada polisi. (Hudono)