HARIAN MERAPI - Pengajian NgaSSo (Ngaji Sabtu Sore) kembali menghadirkan suasana hangat di Alamo Homestay Nitiprayan Bantul pada Sabtu sore (22/11/2025).
Dipimpin oleh Ustadz Eko Priyatno dan didampingi penanggung jawab NgaSSo, Widodo Brontowiyono, para jamaah tampak bersemangat menelusuri tafsir Al-Ibriz karya KH Bisri Mustofa, kali ini pada Surah Al-Baqarah ayat 84–86.
Ayat-ayat ini menggambarkan bagaimana Bani Israel pernah berjanji kepada Allah untuk menjaga persaudaraan, tidak saling membunuh, dan tidak saling mengusir. Namun janji itu mereka langgar sendiri.
Baca Juga: Warisan Ibu Shalihah: Rezeki yang Datang dari Birrul Walidain
Dalam Al-Ibriz, KH Bisri Mustofa menegaskan bahwa pelanggaran itu bukan sekadar dosa sosial, tetapi juga bentuk ketidakjujuran hati, sebab mereka “milih-milih” perintah mana yang mau ditaati dan mana yang mau diabaikan.
Sikap itu ternyata sangat mirip dengan fenomena manusia modern: berjanji, tetapi mudah sekali ingkar; beriman, tetapi hanya pada bagian yang menguntungkan; mengaku taat, namun ketika urusan dunia menggoda, prinsip bisa luluh.
Inilah ironi yang ditegaskan ayat ke-85: “Apakah kalian mengimani sebagian kitab dan mengingkari sebagian yang lain?”
Persoalan ini memicu refleksi menarik dari dua jamaah: Siti Moza, pengusaha muda di sektor laundry dan Indah Sulastri, ustadzah sekaligus pengusaha snack.
Keduanya mengangkat fenomena yang sedang marak: setiap problem hidup—utang, jodoh, rezeki, pekerjaan—sering dijawab masyarakat, terutama generasi muda dengan “sholawati saja”.
Ustadz Eko menjelaskan dengan tenang bahwa sholawat memang memiliki keutamaan besar, membuka pintu rahmat dan melapangkan doa. Namun sholawat bukan jalan pintas dunia, bukan pula jimat yang otomatis menuntaskan semua keinginan.
Baca Juga: Mendidik anak dalam perspektif hadis Nabi
Sholawat, lanjutnya, adalah wasilah, bukan pengganti ikhtiar. Bani Israel dalam ayat-ayat tersebut ditegur karena memakai agama secara parsial. Maka jangan sampai umat hari ini jatuh pada kesalahan yang sama: mengambil amalan tertentu, tapi melepas kewajiban usaha, kerja keras, kejujuran, dan kesabaran.
Widodo Brontowiyono menambahkan, sholawat justru indah ketika menjadi pendorong moral untuk bekerja lebih baik, bukan pengganti usaha. Ia mengibaratkan: “Sholawat itu seperti minyak wangi di baju—menambah harum, tapi bajunya tetap harus dicuci.”