proses motivasional dan penguatan, yakni perilaku yang telah diamati tidak akan diungkapkan oleh indvidu pengamat, apabila individu pengamat kurang termotivasi atau kurang tertarik untuk mengamati dan meniru perilaku model. Individu akan mengungkapkan atau mencontoh perilaku dari model apabila model memiliki daya tarik serta menimbulkan penguatan (reinforcement).
Teori belajar sosial--sebagaimana teori-teori agresi dan kekerasan yang lain--juga menunjukkan kelemahan dalam menerangkan perilaku kekeraan. Kritik terhadap teori ini terutama dalam hal keterbatasannya dalam menjelaskan perilaku kekerasan yang disebabkan oleh perbedaan-
perbedaan individual, seperti faktor kepribadian dan perbedaan kemampuan belajar.
Seperti dinyatakan oleh Gottfredson dan Hirschi dalam Agustin, bahwa tidak semua orang yang menyaksikan atau mengamati atau mengalami secara langsung perilaku kekerasan melakukan agresi balik dan tindak kekerasan.
Hal ini dimungkinkan karena adanya perbedaan-perbedaan individual dalam menghadapi perilaku kekerasan seperti kemampuan mengendalikan diri dan konsep diri negatif.
Pada perkembangan berikutnya, belajar agresi melalui model tidak hanya yang langsung di
mata penontonnya. Melalui media massa hal itu juga bisa dilakukan, misalnya melalui televisi.
Tayangan-tayangan yang penuh dengan kekerasan tampaknya menjadi salah satu hal yang memicu agresivitas.
Sebuah penelitian di Indonesia terhadap 150 pelajar yang dilakukan oleh Widyastuti
mengungkapkan bahwa jenis film tertentu memperlihatkan efek yang signifikan terhadap agresivitas penonton.
Temuan ini diperkuat oleh penelitian dari Badingah yang mengungkapkan adanya kaitan antara pola asuh, tingkah laku agresif orangtua, dan kegemaran remaja menonton film keras dengan tingkah laku remaja.*
Penulis : Dr. H. Khamim Zarkasih Putro, M. Si.,
Dosen Program Magister dan Doktor FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Ketua Dewan Pendidikan Kota Yogyakarta,
Dewan Penasehat Paguyuban Keluarga Sakinah Teladan (KST) Provinsi DIY