HARIAN MERAPI - Ada tiga keseimbangan hidup buah Puasa Ramadhan, di antaranya adalah seimbang antara ilmu dan amal.
Dalam tataran ideal, manusia senantiasa menghendaki adanya keserasian dan keseimbangan
(equilibrium) dalam hidup dan kehidupannya. Puasa Ramadhan 1445 H beberapa saat lalu merupakan salah satu cara yang ampuh untuk melakukan pembiasaan hidup yang berkesimbangan.
Firman Allah SWT: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang tengah, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah; 2:143).
Baca Juga: Ini manfaat tidur singkat 15 menit saat ikut arus mudik
Dalam menafsirkan ayat ini, Buya Hamka menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang
menempuh jalan tengah, menerima hidup dalam keadaannya. Percaya kepada akhirat, lalu beramal di dalam dunia ini.
Mencari kekayaan untuk membela keadilan, mementingkan kesehatan ruhani dan
jasmani karena kesehatan yang lain bertalian dengan yang lain. Mementingkan kecerdasan pikiran, tapi dengan menguatkan ibadah untuk menghaluskan perasaan.
Dalam praktik ibadah, betapa ajaran Islam syarat dengan simbol-simbol kehidupan seimbang itu. Dalam shalat umpamanya, terjadi keseimbangan yang serasi yang menggabungkan antara gerak raga dan gerak jiwa.
Umat Islam menjadi umat yang pertengahan dan mampu menjadi saksi bagi umat-umat yang
lainnya, karena mempunyai beberapa kelebihan dalam keseimbangan hidupnya; di antaranya:
Baca Juga: Saat musim Lebaran lebih untung, pedagang oleh-oleh di Kabupaten Sukoharjo diserbu pemudik
Pertama; seimbang antara ilmu dan amal. Tidak boleh hanya menekankan pada ilmu saja,
tanpa diimbangi dengan amal perbuatan yang nyata dalam kehidupan ini, sebagaimana firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. “ ( QS. Ash-Shaf; 61:2-3).
Mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan, artinya seseorang hanya berkutat pada teori belaka dan berjalan di atas konsep yang kosong tanpa amaliah. Dia menjadikan ajaran Islam hanya sebagai Islamologi, ilmu pengetahuan tentang Islam yang hanya dibicarakan, didiskusikan dan diseminarkan tanpa ada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari.
Bahkan ironisnya lagi, amalan sehari-harinya justru bertentangan dengan ajaran Islam yang biasa ia bicarakan di berbagai tempat.
Baca Juga: Jangan temperamental, ini lho pentingnya jaga toleransi berkendara saat arus balik
Kedua; seimbang antara rasa takut (khauf) dan harapan (raja’). Seorang muslim di dalam
hidupnya tidak boleh selalu diliputi rasa takut terhadap dosa-dosa yang selama ini dikerjakannya secara berlebihan, sehingga menimbulkan rasa putus asa terhadap rahmat dan ampunan dari Allah SWT.