Pak Sugik berhenti, ia terdiam sejenak, menghela nafas panjang, dan berat, seperti, ada sebuah beban, entah apa.
Rokok itu, kembali ia hisap dalam-dalam, seperti menahan sesuatu.
Tapi, Pak Sugik berpikir, ia sudah telanjur mengatakannya, tentang Keluarga Kuncoro.
“Aku sing nandur Pasak Jagor nang omahe Keluarga Kuncoro, aku sing berkhianat nang keluarga iki, aku wedi Sri, sampe sak iki, nek iling iku, aku kudu nangis (Aku yang memasang Pasak Jagor di rumah Keluarga Kuncoro, aku yang berkhianat, aku takut Sri, sampai sekarang, kalau ingat itu, rasanya ingin menangis),”
Baca Juga: Sandy Walsh dan Jordi Amat Belum Bisa Ikut Kualifikasi Piala Asia, STY : Absennya Mereka Disayangkan
Sri, kaget bukan kepalang, ia menggelengkan kepala, tapi tetap diam.
“Mbah Tamin sing mekso, nek igak, anak bojoku bakal nerimo kirimane (Mbah Tamin yang memaksa, kalau tidak, anak istriku yang akan menanggung risiko menerima kiriman santet darinya),”
Sri, ia tidak habis pikir, memang benar, batin Sri, keluarga Atmojo itu, menggunakan segala cara, guna memusnahkan musuh-musuhnya.
Mendengar pengakuan Pak Sugik, sekarang, kepingan puzzle itu, selesai sudah, tersusun, dengan rapi, di dalam kepala Sri.
Pak Sugik…*