Barangkali hanya orang tidak waras yang mau menerimanya.
Setelah menunggu cukup lama, Sri dan Dini dipanggil Mbah Krasa, keduanya melangkah masuk.
Mbah Krasa mempersilakan keduanya duduk, “Aku melok sedih krungu nasibe koncomu (Aku ikut sedih mendengar nasib temanmu),”
Baca Juga: Sewu Dino Bagian 25: ‘Rambut Sing Diculi Koncomu, Mbok Pikir Opo’, Erna Terancam?
“Tapi, aku wes jamin keluargane, bakal oleh kewajibane sing pantes diterimo (Tapi keluarganya sudah dijamin, mereka akan mendapat hak yang meman pantas didapatkan),” katanya.
“Sak iki, opo sing kepengin mok omongno nang ngarepku (Sekarang, apa yang ingin kalian katakan di hadapanku),” tanya Mbah Krasa.
“Kulo bade mundur Mbah (Saya mau mundur Nek),” Sri menjawab, wajahnya tertunduk, gadis itu memang amat segan setiap kali melihat Mbah Krasa.
Mbah Krasa memandang Sri, cukup lama, lalu dengan diiringi senyum, “Boleh,”
“Tapi, aku ra jamin nyowomu yo Ndok (Tapi saya tidak menjamin nyawamu ya Nak),”
Sri dan Dini saling menatap, keduanya bingung,tidak mengatakan apapun lagi, keduanya pasrah.
“Sak iki yo opo, mundur? (Sekarang, bagaimana, mundur?),” tanya Mbah Krasa, dengan tatapan mengintimidasi.
Baca Juga: Sewu Dino Bagian 24: Pasak Jagor itu Dibanting, Erna Tidak Sadar Begitu Mengerikan Konsekuensinya
“Mboten Mbah,” kata Sri dan Dini, kompak.
Mbah Krasa mengangguk puas.
“Asline, ra perlu onok korban, nak podo nurut ambek Si Mbah, mek butuh norot tok Ndok, opo angel, ngerungokno wong tuwo (Sebenarnya, tidak perlu ada korban, kalau kalian nurut sama Mbah Tamin, cuma butuh menurut saja kok Nak, apa susahnya mendengarkan orang tua),” kata Mbah Krasa.