BANTUL, harianmerapi.com – Belasan pria usia senja mulai menabuh rebana yang dibuat dari kulit sapi di Pedukuhan Jetis, Selopamioro, Kapanewon Imogiri, Bantul. Sementara tiga lainnya yang berada di barisan depan mulai membuka kitab sholawat Jawa.
Kitab Sholawat Jawa yang sudah sobek di beberapa bagian itu bertuliskan huruf Arab. Namun begitu, saat dilafalkan ternyata berbunyi Bahasa Jawa.
Itulah secuil aktivitas Kelompok Sholawat Sekar Utomo yang seluruhnya adalah warga Pedukuhan Jetis, Selopamioro, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul.
Salah satu pelantun Sholawat Jawa, Sugiyono mengatakan kelompok bernama Sekar Utomo ini merupakan generasi keempat yang mewarisi Kitab Sholawat yang ditulis tangan tersebut.
Kakek 62 tahun itu mengaku menjadi salah satu anggota grup sholawat yang dipercaya menyimpan Kitab Sholat Jawa yang diturunkan dari eyang buyutnya.
Baca Juga: Vaksinasi Covid-19 di Bantul Kejar Target Penambahan 10 Persen Sebulan
Anggota Kelompok Sholawat Sekar Utomo seluruhnya adalah warga Pedukuhan Jetis, Selopamioro, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul.
Sholawat ini dilantunkan dengan Bahasa Jawa dan diiringi dengan terbang (rebana) berukuran besar. Tempo sholawatnya pun pelan dengan menggunakan nada-nada tinggi.
“Kami punya dua Kitab Sholawat, satu asli dan satu hanya fotocopy,” terangnya.
Sholawat Jawa tidak pernah absen tampil dalam acara-acara besar di kampung tersebut. Namun, tidak jarang kelompok Sekar Utomo mendapatkan undangan untuk bersholawat di acara warga.
Bahkan bagi sebagian warga, Sholawat Jawa ini menjadi bagian dari nadzar yang akan dilaksanakan jika keinginan ada yang terkabul. “Misalnya kalau istri saya hamil lagi, saya nadzar undang sholawat di rumah,” ujar Sugiyono.
Beberapa tahun silam, Sholawat Jawa juga sering diundang ke rumah warga manakali ada warga yang sakit dan tidak kunjung sembuh.
Biasanya setelah mendengar lantunan Sholawat Jawa ini, menurut Sugiyono, warga tersebut segera sembuh dari penyakitnya.
Baca Juga: Ikon Wisata Baru Bantul, Little Tokyo Siap Segarkan Mata dengan Pemandangan Perbukitan Dlingo
Namun begitu, Sugiyono menjelaskan bahwa hal ini merupakan kepercayaan yang ada di masyarakat sekitar kampungnya.
Diakuinya, dalam kitab Sholawat Jawa itu ada beberapa bagian yang memang tidak bisa dilantunkan setiap saat. Kalimat-kalimat sakral itu bertuliskan dengan tinta merah, dan hanya dilantunkan pada acara tertentu dengan beberapa persyaratan.
Kini, kelompok Sekar Utomo mulai kesulitan mencari penerus. Tidak banyak pemuda di kampung Jetis yang mau berlatih melantunkan Sholawat Jawa. Sugiyono hanya bisa berharap, warisan para leluhur itu dapat lestari hingga kapanpun.*