Keadaan ini memaksa mereka untuk pergi meninggalkan desa Djono menuju ke arah timur laut.
Rombongan orang Tionghoa ini berusaha melintasi benteng alam, pegunungan Menoreh di daerah Salaman Magelang, yang pada saat itu masih berupa hutan belantara.
Setelah berhasil melewati perbukitan yang terjal, rombongan ini sampai di kota Magelang.
Sebagian rombongan tinggal dan menetap di Magelang, tetapi sebagian lagi memilih melanjutkan perjalanan menuju ke Parakan di daerah Temanggung.
Rombongan yang menetap di Magelang memilih bertempat-tinggal di Ngarakan (sebelah barat Pecinan), yang dulu bernama Tengkonstraat dan kini dikenal sebagai Jl. Daha.
Untuk memimpin komunitas Tionghoa, Raja Mataram Sultan Hamengku Buwono III mengutus Tan Jing Sing yang diberi gelar KRT Secodiningrat I untuk menjadi Kapitan Tionghoa pada tahun 1793.
Tan Jing Sing juga menjabat sebagai Bupati Nayoko yang diangkat pada masa Pemerintahan Inggris di Indonesia oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles.
Ketika Tan Jing Sing meninggal dunia pada tahun 1831, kepemimpinan komunitas Tionghoa dilanjutkan oleh anaknya yang juga menjabat sebagai bupati dengan gelar KRT Secodiningrat II.
Sejak tahun 1857, setelah KRT Secodiningrat II meninggal dunia, terjadi kekosongan pimpinan komunitas Tionghoa di Magelang.
Kasunanan Surakarta mengusulkan kepada pemerintah penjajah Belanda untuk memilih pemimpin dari Surakarta. (Amat Sukandar/Koran Merapi) *