harianmerapi.com - Kelenteng ‘Liong Hok Bio’ di Jl. Alun Alun Selatan nomor 2 Magelang, terletak di pusat kota.
Perkembangan dan sejarah masyarakat Tionghoa di kota Magelang ada keterkaitannya dengan keberadaan kelenteng yang terletak di sebelah tenggara alun-alun, yang merupakan ‘pintu gerbang’ masuk ke kawasan Pecinan.
Menurut catatan yang ada, Kelenteng Liong Hok Bio didirikan pada tahun 1864 oleh Kapiten Be Koen Wie atau Be Tjok Lok.
Sejarah tentang kelenteng ini terkait dengan riwayat Twa Pek Kong yang ada di sini. Informasi dari Bagus Priyana, ketua komunitas pecinta sejarah dan bangunan kuna ‘Kota Toea Magelang’ yang bersumber dari tulisan Liem Tjay An, yang dimuat Majalah Tri Budaya no 96/97 edisi Januari-Februari 1962 diungkapkan, pada tahun 1740 pemerintah penjajah Belanda melarang kedatangan para imigran dari Tiongkok.
Mereka yang tidak memiliki iZin kerja dideportasi ke Srilanka dan Tanjung Harapan di Afrika. Peraturan ini menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang Tionghoa yang sering terkena pungli oleh pejabat Belanda.
Untuk menghindari nasib yang semakin buruk, orang-orang Tionghoa yang tinggal di Batavia melakukan pemberontakan dengan kekuatan tentara yg dilengkapi dengan senapan. Tetapi pemerintah penjajah Belanda dapat menindas pemberontakan ini.
Akibatnya, sekitar 10.000 orang Tionghoa di Batavia dibunuh dan dianiaya. Untuk menyelamatkan diri, banyak orang-orang Tionghoa melarikan diri dari Batavia menuju ke berbagai kota di pesisir timur laut Jawa Tengah, seperti ke Semarang, Jepara dan Lasem di Rembang. Termasuk lari meminta perlindungan ke Kasunanan Surakarta, meskipun tidak terlaksana.
Baca Juga: 7 Buah Mendatangkan Keberuntungan Saat Dimakan di Perayaan Imlek
Ada rombongan kecil orang Tionghoa telah sampai di daerah Kedu Selatan dan bertempat tinggal di desa Klangkong Djono, sebuah desa yang ada di selatan kota Kutoarjo (sekarang disebut dengan nama desa Djono). Pada waktu itu orang-orang Tionghoa masih taat kepada keyakinannya, terutama pemujaan terhadap Twa Pek Kong.
Maka ketika mereka mengungsi tidak lupa Twa Pek Kong tersebut dibawa juga ke desa Djono. Twa Pek Kong adalah patung Dewa Bumi yaitu Hok Tek Tjen Sin (Tho Tee Kung).
Kondisi demikian menjadikan desa ini tenteram dan damai. Masyarakat bekerja dengan berbagai mata pencaharian, seperti membuat terasi, menenun kain dan perdagangan kecil lainnya.
Ketika terjadi Perang Diponegoro tahun 1825 ternyata pengaruhnya juga menjalar sampai ke wilayah Kedu Selatan. Hal ini membawa dampak buruk terhadap keberadaan masyarakat Tionghoa yang tinggal di desa Djono.
Maka terjadilah keonaran yang disebabkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab merampok warga desa. (Ditulis: Amat Sukandar) *