KEINGINAN Seno adalah membanggakan sekaligus mengangkat derajat keluarga dengan cara meraih kesuksesan. Harapannya, saat dirinya berhasil mencapai cita-citanya, kedua orangtuanya masih bisa menyaksikan dan turut merasakan kebahagiaan bersama.
Namun apa daya, rencana dirinya tak sesuai dengan suratan takdir.
Menjelang ujian akhir, Pak Wiryo dipanggil Sang Khalik. Terpukul sudah pasti jiwa Seno. Apalagi sebelumnya tidak ada tanda-tanda sakit yang diderita.
Hanya saja, beberapa hari sebelumnya Seno sebenarnya sudah mendapat firasat. Suatu sore ia sempat duduk berdua dengan Pak Wiryo di teras rumah. Di saat itulah terdengar deru suara pesawat terbang lewat di atas rumah.
Baca Juga: Mungkinkah Ada Hantu Sapi Gentayangan?
"Itu suara apa, nak?" tanya Pak Wiryo.
"Pesawat terbang, Pak."
"Bapak jadi ingat apa yang pernah kamu ucapkan waktu masih kecil dulu."
"Saya juga masih ingat, Pak. Seno pengin jadi pilot dan mengajak Bapak dan Ibu terbang di langit."
"Alhamdulillah, mendengar keinginanmu saja Bapak sudah sangat bangga. Bapak juga tidak akan kecewa seandainya kamu akhirnya tidak jadi pilot. Bapak hanya ingin kamu tetap teguh dengan pendirian untuk berbakti kepada orang tua, menjalankan perintah agama dan selalu bertindak jujur. Apapun nanti pekerjaanmu, jangan lupa tetap beribadah dan memegang amanah. Jika itu kamu lakukan, Bapak yakin kamu akan menjadi orang mulia."
Tak disadari Seno bahwa ucapan ayahnya itu merupakan nasihat terakhir. Padahal selama ini nyaris Pak Wiryo tak pernah memberi nasihat lewat tutur. Ia lebih banyak memberi contoh secara langsung, baik dalam bekerja maupun beribadah. Dengan demikian, tanpa dipaksa atau dihardik Seno menjadi mengerti dengan sendirinya, apa-apa yang harus dilakukan.
Baca Juga: Mancing Tengah Malam Ketemu Gendruwo
Tak kurang sepekan setelah pembicaraan singkat tersebut, Pak Wiryo pergi untuk selamanya. Sesaat setelah Subuh, ia mengeluh badannya merasa tidak enak. Belum sempat dibawa ke rumah sakit, Pak Wiryo sudah menghembuskan nafas terakhir dengan sempat mengucapkan dua kalimat syahadat, ditunggui istri dan Seno.
Kehilangan orang yang sangat dihormati dan dicintai, membuat Seno amat sangat terpukul. Bukan lantaran sekarang tanggung jawab keluarga berada di pundaknya sebagai anak laki-laki, namun tanpa sang ayah seakan-akan dirinya kehilangan sandaran.
Tapi perasaan itu dipendamnya dalam-dalam, karena ia tak ingin sang ibu dan dua adiknya perempuan bertambah kesedihannya. Dia tak ingin gagal membahagiakan kedua orang tuanya dan keluarga, hanya karena sang ayah sudah wafat.
"Saya harus kuat. Bapak memang sudah tidak ada, namun jiwanya tetap akan mendampingiku selamanya," kata Seno dalam hati usai manyalatkan sang ayah.
Baca Juga: Pahami Apa yang Ada Dalam Diri, Agar Bisa Memaksimalkan Potensi
Ditinggal pergi Pak Wiryo untuk selama-lamanya, membuat Mbok Wiryo sempat putus asa terkait dengan kelanjutan pendidikan anak-anaknya. Tanpa bapak yang selama ini menjadi tulang punggung dalam mencari nafkah, maka rasanya hampir tidak mungkin dirinya bisa menanggung biaya yang harus dikeluarkan.