Baca Juga: Gelar dialog bersamama mahasiswa, Kemenkumham DIY jelaskan 14 isu krusial dalam RKUHP
Dengan adanya acara keramaian itu, upacara srada menjadi acara besar dan disebut Pasadran Agung.
Ketika di zaman Prabu Brawijaya V acara itu digelar lebih besar lagi dengan tetabuhan gamelan.
Raja Majapahit terakhir ini mempunyai gamelan pusaka Kiai Sekar Delima yang dibunyikan selama upacara Pasadran Agung.
Kemudian ketika peradaban Jawa berganti Islam, muncullah para wali penyebar agama Islam.
Setiap tanggal 6-12 Rabiul Awal, para wali bertemu di Masjid Demak.
Pada hari terakhir pertemuan, para wali mengadakan keramaian besar untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Karena pada waktu itu masyarakat Jawa menyukai gamelan, maka keramaian Maulid Nabi tidak dimeriahkan dengan rebana. Tapi, dengan gamelan.
Kanjeng Sunan Kalijaga meminta kepada Sunan Bonang untuk membuat seperangkat gamelan. Sementara Sunan Kalijaga sendiri membuat gong yang diberi nama Kiai Sekati.
Dengan adanya gamelan itu, masyarakat berduyun-duyun mengikuti acara tersebut.
Namun, Sunan Kalijaga mewajibkan masyarakat yang hendak mengikuti acara itu untuk bersuci dahulu.
Baca Juga: Inilah Candradimuka, chopper electric bike sebagai lucky draw Kustomfest 2022
Saat itulah Sunan Kalijaga mengajarkan berwudhu. Dan, ketika hendak masuk masjid masyarakat juga wajib membaca syahadat.
Karena itu, acara itu kemudian terkenal dengan istilah syahadatan.