Sambil mengamati jalan yang akan dilalui, tak henti- henti mulutnya bersenandung.
Menyenandungkan Banyu Langit, lagu kesayangannya. Tidak banyak pembicaraan antara keduanya.
Markun merasa enjoi melajukan motornya.
“Nah, ini sudah masuk kota. Pinggir jalan sudah ada lampu listrik. Aku turun sebelum jembatan Tangkil itu, Mas”, tutur lelaki berpakaian putih- putih dan berkopiah putih itu.
Masih tetap duduk di sadel, Markun mempersilahkan lelaki itu turun.
Tidak sengaja dia melirik ke kaca spion sebelah kanan.
Gandrik! Markun terkesiap. Saking kagetnya, dia merasa detak jantungnya berhenti.
Di kaca spion Markun tidak melihat sosok lelaki yang tadi membonceng.
Yang dia lihat...sebuah pocong. Berjalan ‘jondhal- jondhil’ menjauh dari dirinya.
“Jadi...yang membonceng aku tadi...pocong?!”, gumamnya dalam hati. Keringat dinginnya spontan bercucuran.
Untung, dia masih bisa menguasai diri.
Selamat tiba di rumah dan berjumpa istri tercintanya. - Nama samaran - (Seperti dikisahkan Andreas Seta RD di Koran Merapi) *