Darah dibiarkan mengalir, disendoknya dengan pena rusak itu untuk dijadikan tinta.
Sosok itu menyadari adanya Hari yang terperanjat, kemudian melihatnya dengan senyumannya yang membangkitkan ketakutan.
Keganjilan kali ini benar-benar membuat keringat Hari menyeruak, bulu kuduknya bermekaran.
Menyadari kecemasan itu Hari membalikkan badan untuk meninggalkan perpustakaan,
namun dari arah samping kakinya tersandung roda troli yang tengah menyebrang hingga badannya terjatuh.
Bu Pur tidak memperdulikan Hari yang terjelembab dan melanjutkan menyuplai buku di lemari yang berbeda.
Degub dada Hari makin membunca, dipaksa bangun secepatnya dari keramik.
Kini dirinya berlari menuju pintu luar.
Pintu pun akhirnya terlihat, namun masih ada Wahid yang berdiri di depan dispenser.
Hari memberhentikan kakinya, menatap Wahid yang terus mengulangi mengambil air mineral dan meneguknya tanpa ekspresi serta berkata.
“Haus sekali...Haus...”
Suara itu jauh berbeda dengan rekan yang dirinya kenal.
Desing yang begitu ringkih seakan kerongkongan dicekik.