Salah satu yang paling umum ialah ritual adat labuh sesaji di kawah Gunung Bromo pada puncak perayaan Yadnya Kasada yakni momentum seluruh masyarakat Tengger dari berbagai penjuru saling berdatangan untuk mengorbankan ongkek-ongkek berisi sesajen berupa buah-buahan, hewan ternak dan uang.
Baca Juga: Mengapa Pengendara Sepeda Motor Disarankan Tidak Memakai Sandal Jepit, Ini Jawabnya
Saat menyaksikan ritual labuh sesajen itu, perhatian juga pasti akan tertuju kepada puluhan orang yang nampak sibuk, bahkan saling berebut untuk menangkap dan mengumpulkan sesaji yang dilemparkan warga Suku Tengger ke arah kawah Gunung Bromo yang mengeluarkan kepulan asap putih.
Mereka disebut para Marit, yang beraktivitas sejak malam hingga siang hari setelah upacara Yadnya Kasada usai. Mereka jauh-jauh hari sudah tiba ke Gunung Bromo, bahkan sengaja membuat tenda darurat di bibir terluar kawah, di samping beton pembatas atau keamanan yang dipasang petugas.
Kearifan lokal
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo Bambang Suprapto mengatakan keberadaan kaum Marit memang sangat lekat dengan Yadnya Kasada masyarakat Tengger di Gunung Bromo.
Baca Juga: Pemerintah Antisipasi Varian Baru Omicron BA.4 dan BA.5, Begini Caranya
"Marit sudah ada seiring dengan adanya ritual Yadnya Kasada karena masyarakat Tengger secara turun temurun juga meyakini setiap sesaji yang sudah dilabuh itu juga memiliki berkah tersendiri, terlebih lagi yang berupa hasil bumi," katanya.
Banyak yang percaya jika hasil dari Marit itu ditanam kembali di ladang bersama dengan tanaman lainnya, maka hasil panennya akan lebih baik dari tahun sebelumnya.
Hal tersebut diyakini warga Tengger karena keberkahan dari japa mantra yang sebelumnya dibacakan oleh para Rama dukun sebelum sesaji di labuh di kawah Gunung Bromo, dimana salah satu pengharapannya adalah kesuburan bumi.
Baca Juga: Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie Ingatkan Menteri yang Mau Nyapres Harus Mundur dari Jabatannya
Merujuk kepada hal tersebut Bambang menjelaskan bahwa Marit sejatinya bukan untuk mencari keuntungan dengan cara mengumpulkan labuh saji sebanyak-banyaknya, jadi sebenarnya itu bukan untuk dimakan atau dijual, tetapi lebih untuk dikembangkan lagi.
Ia mengimbau kepada para Marit agar senantiasa menjaga etika sebagai Marit karena seharusnya labuh sesaji itu baru boleh diambil ketika sudah menyentuh tanah, tidak direbut dan dipaksanakan, apalagi sampai harus membuat alat berupa jaring tangkap dan sebagainya.
Bambang mengatakan sebenarnya hal itu sudah sering disampaikan dan informasikan, namun namanya manusia, ada saja yang kurang menghiraukan imbauan itu dan pihaknya berharap semoga keberadaan Marit ini menjadi penanda berkahnya perayaan Yadnya Kasada.