“Setuju”, jawab Daeng Winggeni mengacungkan jempol kanannya, “Kawan-kawan, bawa senjata kalian naik ke perbukitan sebelah. Panji Karonuban, cari teman-temanmu dan seret meriam-meriam itu naik ke perbukitan!”
“Siap, Winggeni”, jawab Panji Karonuban yang bertubuh kekar itu.
Bersama beberapa prajurit bawahannya mereka menyeret meriam itu naik ke perbukitan sebelah.
Baca Juga: Kisah Perang Makassar Melawan VOC 4: Belanda Berkirim Surat Minta Agar Sultan Hasanuddin Menyerah
Di sana posisi tembaknya jauh lebih baik.
Kecuali itu juga bisa berlindung diantara pepohonan maupun semak belukar sehingga tidak mudah untuk dijadikan sasaran bidik oleh musuh yang berada di tengah laut lepas.
Kembali tembak menembak terjadi lagi.
Dari tengah laut terdengar desing peluru meriam yang melaju kencang ke arah perbukitan
“Glegeerrrrr” suaranya jatuh menggelegar di tanah menghamburkan batuan kerikil dan debu ke udara,
Baca Juga: Kisah Perang Makassar Melawan VOC 5: Digempur Habis-habisaan Prajurit Makassar Pantang Menyerah
pecahan peluru meriam itu beserakan kemana-mana satu, dua, tiga di antaranya mengenai tubuh prajurit-prajurit Makassar yang kemudian berteriak kesakitan dengan darah segar mengucur karena pecahan tersebut menembus kulit dagingnya.
Atau kadang pula mereka tak sempat berteriak kesakitan namun langsung jatuh ke bumi dan nyawanya melayang memenuhi panggilan Illahi, mati sebagai pahlawan ibu pertiwi. (Ditulis: Akhiyadi/Koran Merapi)*