“Baik. Saat ini juga aku turun ke Marcapada lalu ke Kerajaan Gilingwesi. Kalau soal membujuk Dewi Sinta akulah jagonya”, jawab Sanghyang Narada bethara cebol yang suka sombong itu.
Di kerajaan Gilingwesi Dewi Sinta masih tersedu-sedu, sedih. Suaminya yang perkasa itu kini mati di tangan Bethara Wisnu.
Baca Juga: Babad Tanah Jawi Prabu Watugunung 3: Menuruti Saran Dewi Sinta Menyerang Suralaya untuk Melamar Bidadari
'
Tidak cuma itu saja, Dewi Sinta juga teringat akan cacat pelang di kepala Prabu Watugunung yang menandakan kemungkinan besar suaminya yang selama ini dicintainya tidak lain adalah anaknya sendiri.
“Sintaaa, Ulun datang Sintaaa...”, kata Sanghyang Narada setiba di Keraajaan Gilingwesi.
“Ulun siapa ya?”
“Ulun, Sanghyang Narada”, jawab Bethara cendhik lemu itu seraya mendekati kamar Dewi Sinta dan melangkah masuk.
“Kamu mengapa mesti datang kemari?” tanya Dewi Sinta mendelik seakan kurang berkenan dengan kehadiran Bethara dari Suralaya itu.
“Emmm... begini, Dewi Sinta. Bethara Guru sebagai penguwasa di Suralaya meminta kesediaanmu agar kamu menghentikan tangismu. Sebab tangismu itu membuat huru hara di Suralaya sehingga warga di sana ketakutan”.
Baca Juga: Babad Tanah Jawi Prabu Watugunung 4: Perang Tanding Lawan Dewa di Suralaya Diganti dengan Cangkriman
“Tidak bisa. Aku menangis karena sedih, suamiku mati terbunuh. Aku akan menangis terus menerus biarlah Suralaya jadi porak poranda dan kalang kabut”.
“Jangan begitu, Dewi Sinta. Kalau dikau mau berhenti menangis suamimu akan aku hidupkan kembali. Sudahlah, aku pamit dulu akan terbang ke Suralaya menghidupkan suamimu”. (Ditulis: Akhiyadi) *