harianmerapi.com - Kiai Ageng Henis dan Jejaknya di Laweyan, etos kerja pembatik tumbuh dari akar nilai tradisional.
Kemampuan membatik pun akhirnya diturunkan kepada sanak saudara, kerabat dan keturunan, bahkan tetangga sehingga kebiasaan membatik tidak lagi ada di dalam keraton saja.
Sejak saat itu membatik menjadi industri rumahan yang dikelola oleh para saudagar dan menjadi salah satu pendapatan yang luar biasa.
Baca Juga: Kiai Ageng Henis dan Jejaknya di Laweyan 1: Putra Bungsu Ki Ageng Sela yang Hijrah ke Pengging
Dalam sejarahnya, Laweyan mempunyai sebutan unik Galgendu karena tempat keberadaan orang-orang kaya.
Ciri khas batik pada masa itu adalah masih dikerjakan dengan tulis tangan memakai lilin dengan media canting.
Motif yang digunakan juga masih meniru motif kraton, berupa motif ceplok, limar, semen, parang, bahkan lunglungan.
Teknik pewarnaan yang digunakan menggunakan bahan alami sehingga masih memakan waktu lama dalam pengerjaannya.
Baca Juga: Kiai Ageng Henis dan Jejaknya di Laweyan 2: Berhasil Mengajak Kiai Ageng Beluk Memeluk Agama Islam
Ragam hias batik Laweyan ini telah dibakukan sehingga ada nama ragam hias Kawung, Sawat, dan Parang.
Selain membatik yang menjadi ciri khas Laweyan, awal abad ke-20 muncul pedagang batik dari Laweyan.
Sejak masa itu, adanya dinamika perekonomian di Surakarta. Proses perdagangan pada masa ini yang didominasi oleh perempuan memunculkan istilah Mbok Mase sebuah sebutan untuk saudagar batik perempuan.
Pada masa ini, peran perempuan dalam kegiatan ekonomi menjadi menonjol. Bahkan, komunitas pedagang Laweyan mendapatkan sebutan “counter-elite” terhadap kekuasaan keraton maupun bangsa Asing.
Hal menarik dari sistem yang dibangun di Laweyan adalah etos kerja dan jiwa enterpreunership tumbuh dari akar nilai-nilai tradisi Jawa dan Islam.