harianmerapi.com - Ken Tambangraras dan Sebuah Cinta yang Hilang. Sebagai cara untuk mencapai ketaatan kepada Allah, wanita hendaknya meningkatkan kualitas kepribadiannya.
Harus menghindari berbagai sifat yang tidak terpuji, misalnya dengki dan suka membenci, kemeren kalawan dahwen, kemingsun (sombong), ewan cekak, rupak yaitu mudah tidak senang dengan pihak lain dan berpikiran sempit.
Guna mencapai kualitas kepribadian, dengan cara tapa brata, puja mantra yang terdiri dari lima hal yaitu:
mengurangi makan dan tidur, mengurangi nafsu syahwat, mengurangi perkataan yang tidak berguna, dan pandai menyembunyikan duka.
Kelima hal tadi sebagai konsep mewujudkan terbentuknya wanita utama yang senantiasa selalu mengasah ketajaman rohani,
selalu ingat kepada Allah, menjaga ketenangan hati, keteguhan, kewaspadaan, dan kehati-hatian dalam mempergunakan akal budinya.
Semuanya dilakukan dengan ikhlas, sabar, dan rela berkorban untuk mencapai kesempurnaan derajat wanita sejati.
Perjalanan semakin jauh membuat hati kian peka terhadap segala macam fenomena kehidupan sosial masyarakat pedusunan yang dilewatinya.
Tersebutlah dalam kisah ini Nyi Ageng Sela Brangti dan Nyai Centhini menjumpai sebuah pedusunan baru yang sudah lengkap dengan sawah dan ladangnya.
"Ki Sanak, kalau boleh tahu apakah nama pedusunan ini?" tanya Nyai Centhini kepada santri Montel seorang lelaki muda yang berdiri di pinggir jalan.
"Pedusunan ini bernama Wonotoko. Sedang lelaki yang sedang tapa brata di Langgar depan rumah itu adalah Kyai Mangunarso," jawab Santri Montel tadi.
"Hmmmm...?" Nyai Centhini cuma bergumam lalu mendekati Nyi Ageng Sela Brangti yang menunggu tidak jauh dari tempat itu.
"Nyi Ageng Sela, yang sedang bertapa brata di dalam langgar itu Kyai Mangunarso. Ststststt..., wajahnya mirip sekali dengan Syekh Amongraga," bisik Nyai Centhini.