harianmerapi.com - Dalam cerita menyelamatkan pusaka Kerjaan Majapahit dikisahkan, Nyi Gadung Mlati berhenti di tepi jalan menanti Pedati yang berjalan di paling belakang dari arak-arakan rombongan.
Kebetulan yang mengendalikan sapi penarik pedati adalah seorang Tumenggung yang berpengalaman, Tumenggung Suryapati.
Pria yang sehari-harinya bersahaja ini merupakan teman seperguruan Ki Ageng Tunggul Wulung di masa mudanya dulu.
“Paman Tumenggung Suryapati, perjalanan kita ini masih jauh kira-kira akan memakan waktu berapa hari?”, tanya Nyi Gadhung Mlati.
“Sekitar satu bulan. Itu jika benar apa yang dikatakan oleh para prajurit Punakawan yang sebelumnya pernah menengok ke tempat tujuan kita ini”, jawab Ki Tumenggung.
“Di manakah tempat itu, Paman?”.
“Di sebelah barat Kadipaten Kusumayuda”.
“Masih jauh ya, Paman?”.
“Lumayan. Sabar saja, Ngger. Nanti pada saatnya juga akan sampai, tempat itu bernama dusun Dukuhan, subur, makmur, dan menghijau segar tanaman padi di sawah,"
"dan pepohonan diladangnyapun juga tumbuh menyenangkan karena bersebelahan dengan Sungai Progo yang besar dengan airnya yang melimpah ruah”.
Nyi Gadung Mlati mengangguk-angguk mendengarkan cerita Tumenggung Suryapati lelaki tua yang di kalangan prajurit-prajurit Majapahit dikenal sebagai pengembara dan petapa yang andal.
Berbagai hutan dan tempat-tempat wingit pernah dirambahnya baik sendirian maupun bersama Ki Ageng Tunggul Wulung.
Dengan demikian maka ilmu kanuragan yang dimilikinya juga nyaris sempurna melebihi ilmu yang dipunyai oleh prajurit kebanyakan.
Di langit senja mulai nampak temaram, rombongan burung-burung Kuntul yang berbulu putih nampak berbondong-bondong menyeberangi langit terbang pulang ke sarang,
sedangkan kelelawar-kelelawar mulai meninggalkan persembunyiannya pergi mengarungi angkasa raya mencari mangsa untuk dirinya maupun anak-anak mereka.