harianmerapi.com - Namanya lelembut, kadang sesukanya saja nempel di tubuh manusia. Bisa di punggung, di bahu atau tempat lain yang disukai.
Ketika itu kantor semakin senja setelah siang bermandikan gelisah hujan. Ruslan lelah duduk seharian di kursi yang teramat nyaman, setiap pekerjaan selalu diselesaikan.
Ruslan memang suka kerja lembur di kantor. Namun kala itu Ruslan terlihat sayu, dengan rasa lemas lekas ditata meja hingga rapi.
Baca Juga: Sakabhumi Kota tak Terlihat 1: Bingung Arah Jalan, Mampir di Warung Kopi Perbatasan Kota
Bahu kirinya semakin berat dan membuat tulangnya terasa ditusuk oleh benda runcing.
Dua orang satpam yakni Sunar dan Kusnul melihat Ruslan keluar gerbang kantor dengan sebuah mobil, “lembur lagi pak Ruslan?”
Ruslan hanya mengangguk lantas memberikan jatah makan siang dan kudapannya lalu berpamit pulang.
“Wah, wah! Benar-benar pekerja keras, kasihan pak Ruslan setiap hari lembur. Yang lain sudah pulang, e... beliaunya masih aktif.” Ujar Kusnul.
Mendengar rekannya berkata demikian Sunar kembali duduk dan menatap kepergian Ruslan dari bilik jendela pos keamanan dengan cukup serius. Penasaran dengan tatapan temannya, Kusnul bertanya.
“Ada apa to mas Sunar? Kok serius?”
“Eh? Ga papa, saya hanya mbatin. Kamu dengar suara tidak tadi?”
“Lah suara? Mbatin? Maksudnya Mas?” kembali Kusnul penasaran.
“Kayak suara perut bunyi. Ealah ya wajar, kamu itu baru ditempatkan. Saya itu lebih dulu kerja di sini dari pak Ruslan. Karirnya bagus, bahkan di usianya yang begitu muda sudah bisa di posisi direksi.”
“Udahlah Mas, itu bunyi perut saya! Dan maaf lho kan rezeki sudah ada sendiri-sendiri. Ini pak Ruslan ngasih makanannya lagi, ayo Mas kita santap bareng-bareng.”
Perjalanan Ruslan ke rumah hampir tiba, dirinya yang separuh terkantuk-kantuk semakin lunglai. Sejak pagi hanya air putih yang ditelan, tidak ada kudapan yang menarik lidahnya di kantor.